Aku memandang anak-anak yang sedang bermain di taman dengan bosan. Rasanya ingin sekali berjalan dan menghampiri mereka lalu bermain bersama. Tapi rasanya mustahil, tubuhku tidak lagi sama dengan dulu. Dulu aku bisa bermain basket sepuasku dengan Jaemin, atau mungkin berjalan sedikit jauh dari rumah untuk membeli es krim paling enak di kedai milik Paman Ryeowook. Dulu aku begitu sehat.
Tapi sekarang?
Berjalan dari kasur ke kamar mandi saja aku sudah tidak sanggup. Berjalan sedikit saja bisa membuatku pingsan bahkan mimisan, atau lebih parahnya lagi membuat kondisiku menurun dan tidak bangun dalam beberapa hari. Pastinya akan membuat ayah dan ibu khawatir, dan aku tidak mau itu terjadi.
Perut ibu semakin besar. Kedua adikku tumbuh sehat di dalam sana, mereka bahkan terasa menendang sesekali. Aku rasa kedua adikku akan suka permainan sepak bola nantinya.
Aku tau kondisiku semakin memburuk, hingga pulang ke rumah sebentar pun aku tidak diijinkan. Padahal aku merindukan kamarku yang nyaman. Terkadang aku takut, takut jika nanti aku tidak punya cukup waktu untuk melihat adik kembarku, padahal aku sudah menyiapkan nama untuk mereka.
"Haahh.."
Tanpa sadar aku menghela nafas berat, membuat ayah yang sedang duduk disampingku menoleh dan menatapku penuh tanya.
"Kenapa menghela nafas sekeras itu? Ada yang sakit?"
Aku menggeleng dan memaksan sebuah senyuman.
"Tidak baik menghela nafas sekeras itu, banyak kebahagiaanmu yang terbuang nanti" ayah sedikit tertawa karena ucapanmu sendiri.
"Tak apa, ayah. Aku kan punya banyak stok kebahagiaan hehe"
Ayah tertawa sambil mengangguk.
"Jeno bahagia?"
Tentu saja. Kecuali penyakit mematikan ini, aku bahagia atas apa yang aku miliki dalam hidupku.
"Tentu saja, ayah. Jeno bahagia menjadi anak ayah dan ibu, punya teman-teman yang baik, bahkan akan segera mendapat adik kembar"
Ayah terdiam. Lalu tersenyum dan menciumiku dengan lembut. Biasanya aku akan menolak, tapi kali ini tidak. Aku ingin menjadi anak baik sebelum aku pergi.
BRUK!
"Huwaaaaa!"
Aku terkejut ketika seorang anak kecil berusia sekitar 3 tahun terjatuh di hadapanku dan menangis kencang. Ayah dengan segera membantu bocah itu bangun dan mendudukkannya di pangkuan ayah.
"Ssstt~ adik kecil, sudah jangan menangis. Kalau menangis terus, nanti kamu tidak bisa tumbuh tinggi lho" aku mencoba menghibur anak itu. Tapi bukannya diam, anak itu malah menangis semakin kencang. Aku dan ayah menjadi gelagapan.
Akhirnya aku dan ayah memilih diam dan menunggu anak itu menyelesaikan tangisannya.
Setelah beberapa menit, tangisannya berhenti. Anak itu melihatku dengan mata sipitnya yang memerah, bahkan hidungnya juga.
"Kau sendirian? Dimana ayah dan ibumu?"
Bocah itu mengendikkan bahu. Membuatku dan ayah bingung.
"Hyung.. boleh aku duduk disini?"
Bocah itu menepuk pahaku yang tertutup oleh selimut.
"Ingin dipangku hyung, ya?" tanya ayah.
Ia mengangguk hingga pipi bakpaonya bergoyang. Lucu sekali.
"Boleh tidak?"
Aku mengangguk dengan senang hati. Yaaa.. hitung-hitung belajar menjadi kakak yang baik untuk adikku nanti.
Anak itu memekik senang, lalu meminta bantuan ayah untuk duduk di pangkuanku. Sedikit berat, tapi tak apa. Rasanya seperti aku telah menjadi seorang kakak.
Ayah mendorong kursi rodaku mengelilingi taman, tentu saja dengan anak itu di pangkuanku. Ia terlihat senang sekali, bahkan bibir mungilnya tak berhenti berceloteh. Entah tentang mainan atau tentang ikan peliharaannya.
"Jisung!"
Ayah menghentikan dorongannya ketika melihat seorang wanita dengan baju perawat sedang berlari ke arah kami.
Wanita itu suster Park. Ia suster yang biasa merawatku dan dia sangat baik.
"Ibu!"
Anak yang duduk di pangkuanku tadi segera turun dan memeluk suster Park.
"Suster Park, adik kecil ini putramu?"
Suster Park mengangguk.
"Maaf ya, sepertinya Jisung sudah menyusahkan kalian" suster Park membungkum padaku dan ayah.
"Tidak, sama sekali tidak. Jisung anak yang manis, sama sekali tidak menyusahkan kok. Benar kan, Jen?"
Aku mengangguk.
"Terimakasih ya sudah menjaga Jisung"
Aku dan ayah mengangguk.
"Ibu! Hidung Jeno hyung berdalah!" pekikan Jisung membuyarkan lamunanku. Aku segera menyentuh bagian bawah hidungku. Benar saja, tanganku seketika berubah menjadi merah.
"Tuan Lee, segera bawa Jeno kembali ke ruangan!"
Ayah hanya menangguk dan segera mendorong kursi rodaku kembali menuju ruangan. Sedangkan aku hanya pasrah, terlebih ketika rasa sakit menghampiri seluruh tulangku lalu semua tiba-tiba menjadi gelap.
.
.
.
8 agustus 2020
Tuhan, badanku rasanya sakit sekali. Aku bahkan sudah tak sanggup untuk duduk sendiri.
Waktuku sudah dekat ya?
Jangan dulu ya, Tuhan. Aku masih ingin melihat adik kembarku. Aku juga ingin bermain lagi dengan Jisung. Anak itu benar-benar menggemaskan.
Boleh ya aku minta waktuku diperpanjang?
.
.
.
TBC
