Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Saat inilah biasanya puncak pengunjung memadati pasar malam. Loket - loket wahana nampak dipenuhi antrian panjang calon pembeli tiket. Terlihat, Raffi dan Gizel berada dalam barisan antrian loket wahana bianglala.
Saat mengantri, Gizel mendapati wajah Raffi yang berdiri disampingnya terlihat pucat. Gizel yakin Raffi sedang dilanda perasaan cemas.
Gizel membatin heran, jika benar-benar takut akan ketinggian, kenapa Raffi memaksakan diri menaiki bianglala demi dirinya? Menurutnya Raffi tak harus melakukan hal itu.
Gizel menoleh ke barisan dibelakangnya, mendapati banyak anak kecil yang begitu antusias ingin segera menaiki bianglala—gelora semangat anak-anak itu sangat bertolak belakang dengan mental Raffi saat ini.
"Kamu saja ya yang beli tiketnya, aku ingin keluar dari antrian sebentar." Gizel meminta izin.
"Heh, mau kemana?" Tanya Raffi panik layaknya anak kecil yang tak ingin jauh dari ibunya.
"Membeli sesuatu, sebagai penangkal rasa takutmu ketika menaiki bianglala nanti." Jawab Gizel.
"Memang ada yang seperti itu?" Seloroh Raffi
"Lihat saja nanti." Lalu Gizel meninggalkan antrian dan menghilang di keramaian.
@@@@@
"Dua tiket harganya dua puluh lima ribu mas." Kata bapak penjaga loket.
"Ini pak." Raffi menyerahkan lembaran uang dengan menyusupkan telapak tangannya pada lubang loket.
Si bapak penunggu loket memandangi jemari Raffi yang bergetar ketika mengambil karcis. Lalu si bapak memandangi wajah Raffi yang pucat.
"Mas lagi sakit?"
Raffi tersentak dengan pertanyaan itu. Dia memandangi ekspresi prihatin bapak penjaga loket yang ditujukan kepada dirinya.
"Eh ... tidak kuk pak." Raffi menegaskan.
Setelah meninggalkan loket, Raffi mencari tempat yang sepi tak jauh dari area bianglala. Dalam kesendirian dia mendongak ke atas, mengamati banyak anak kecil yang berteriak saking serunya menikmati sensasi terkurung dalam sangkar-sangkar perputaran bianglala.
Raffi menghembuskan napas panjang. Dia menyadari mentalnya kalah berani dengan kebanyakan anak kecil disini. Bahkan wajah cemasnya pun sampai terindikasi oleh bapak penjual tiket.
Pluk! Sebuah benda ditimpukkan dengan keras pada bagian belakang kepala Raffi. Ketika Raffi menoleh, ternyata yang menimpuknya adalah Gizel. Gizel menimpuk Raffi dengan jajanan arum manis berwarna merah muda yang masih terbungkus plastik yang menggelembung.
"Jangan bilang arum manis ditanganmu itu yang kamu anggap bisa menghilangkan rasa takutku?" Pandangan Raffi terkunci pada arum manis, jajanan kegemarannya sewaktu kecil.
"Ayo cepat masuk ah! Jangan banyak omong!" Gizel menyeret Raffi dengan menarik jumpernya. Mereka kemudian memasuki salah satu sangkar bianglala.
@@@@@
Di dalam ruangan sangkar yang seperti kandang burung itu mereka duduk berhadapan. Raffi terlihat tegang sedangkan Gizel berusaha menahan tawa memperhatikan gelagat Raffi.
Tak lama sangkar yang mereka tumpangi terangkat naik dan perlahan memutar di ketinggian. Disitulah Gizel tak kuat lagi menahan geli dan berakhir cekikikan melihat Raffi yang memegang erat jeruji sangkar serta memejamkan mata tak berani melihat ke bawah.
"Jangan menertawaiku. Tiap orang punya phobia tersendiri terhadap suatu hal." Protes Raffi masih dengan mata terpejam.
Beberapa detik kemudian Gizel berhasil menghentikan tawanya. "Boleh tahu asal mula penyebab kamu takut menaiki bianglala?" Gizel berharap Raffi mau menceritakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT CINTA PERTAMAKU
Teen FictionUntuk pertama kalinya, Raffi merasakan apa yang disebut dengan patah hati. Pernyataan cintanya yang dituangkan pada sepucuk surat ditolak oleh Melissa sang pujaan hati. Usahanya untuk memiliki pacar perdana gagal. Untuk pertama kalinya juga, Raffi b...