Singto Pracahya, anak kedua dari pasangan suami istri yang terkenal di negara asalnya, Thailand. Mereka memiliki beberapa perusahaan besar dengan berbagai cabangnya serta banyak usaha usaha lainnya.
Kekayaan keluarga mereka jangan ditanyakan lagi. Namun, semua itu sama sekali tak menjamin kebahagiaan seorang Singto.
Ia merasa aneh, kurang, cemas, khawatir. Mungkin ini salah satu penyakit mental(?). Entahlah, ia sudah banyak datang ke psikater dan berbobat tapi rasa yang ia miliki ini tak kunjung hilang.
Serangan kecemasan yang paling menyebalkan. Ketika ini kambuh, maka Singto pasti tidak tenang, pikirannya kacau, hatinya juga. Seperti ada yang kurang lengkap, seperti ada yang hampa. Semua hal yang membingungkan, mengkhawatirkan berujung kesakitan.
Ingatkan dengan sebuah pepatah, uang tak bisa membeli segalanya. Kekayaan tak bisa menjamin kebahagiaan. Memiliki belum tentu sempurna.
Yah, dan pepatah itu benar adanya. Contohnya Singto ini. Bukannya tidak bersyukur, bukan begitu. Ia bahkan selalu ke kuil untuk berdoa dan menghaturkan puji syukurnya.
Tapi ini benar benar keadaannya dia seperti ini. Hampa. Kosong. Rasanya gelap. Seakan dirinya sendirian, terbelah menjadi dua, dan belahan itu hilang entah kemana. Padahal sebenarnya banyak orang memperhatikannya, keluarganya sendiri terutama.
Saat ini ia berumur 24 tahun. Masa masa muda yang biasanya berisi kasmara dan mabuk cinta. Tapi tidak berlaku dengan Singto. Hatinya kosong.
Sampai saat itu tiba. Saat seseorang yang sama sekali ia tak diketahui menghampirinya dan memberinya pertolongan kecil. Hanya sebuah jaket. Tapi entah keajaiban dari mana, saat orang itu mendekat, aroma tubuhnya bisa menenangkan kecemasan Singto dimana saat itu ia tengah kambuh. Suara lembutnya seakan telah menyembuhkan dirinya. Sentuhannya begitu lembut, walau tak bergesekan langsung dengan kulitnya. Ditambah lagi, orang itu manis, hanya senyum dan ketulusan hangatlah yang terpancar dalam dirinya. Hal itu membuat kecemasan Singto memudar begitu saja.
FLASBACK
Hujan mengguyur perkotaan modern ini. Hari sudah malam. Lampu lampu yang dominan berwarna kuning dan jingga menghiasi perkotaan metropolitan itu ditengah derasnya hujan.
Saat ini, Singto tengah duduk sendirian di halte bus. Padahal jam segini bus sudah tidak ada yang melintasi halte itu. Tapi sudah dari beberapa jam ia berada disana, bahkan sebelum hujan turun.
Ia hanya duduk termenung sedari tadi. Pandangannya kosong, seakan dunia ini gelap tak terlihat. Ditengah dingingnya hujan malam itu, ia bahkan sama sekali tak memakai baju tebal. Hanya baju kaos hitam tipis dengan celana jeans biru juga tas samping miliknya.
Ia bahkan tak menghiraukan pantatnya yang mulai keram akibat kelamaan duduk. Ia tak peduli. Yang menjadi pikirannya adalah kecemasan dihatinya, rasa tak tenang yang sudah melandanya dari dulu, saat ia baru baru masuk remaja.
Kosong, hampa, sunyi, gelap, dingin, cemas, tak tenang, itu beberapa hal yang setidaknya bisa mendeskripsikan bagaimana perasaan Singto saat ini. Serangan kecamasannya tengah kambuh. Penyakit yang paling ia benci selama ini. Masalahnya ini penyakit dalam, sulit disembuhkan.
Ditengah lamunannya, suara orang asing berhasil mengalihkan perhatiannya. Suara yang begitu lembut sampai membuat desiran aneh melintasi hati Singto Pracahya.
"Permisi? Anda sendiri?" Tanya seorang pemuda manis.
Pemuda manis ini memakasi jaket hitam tebal, menjunjung sebuah payung biru navy, memakai tas ransel hitam dipunggungnya, dengan sebuah syal merah menggantung di lehernya. Ia tersenyum ke arah Singto. Senyum yang menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONE OF A MILION LOVE STORIES (LGBT AREA!)
Short Story@humanz10 Hanya beberapa kumpulan beberapa shoot story tentang lgbt/str8. isinya campur, tapi kebanyakan bl. mohon jangan salah lapak yah.