ZenAku akan bilang sesuatu hal paling penting.
Aku meminjam tubuh adikku untuk membalas tiap surat yang dikirimkan untukmu.
Bingung, ya?
Aku menembus 'batasan'. Aku sudah tenggelam dalam tanah. Tepatnya, aku sudah meninggal seminggu setelah acara amal itu.
Aku memiliki penyakit mematikan. Operasi besar tak akan bisa menolong nyawaku. Jadi, aku hanya dibiarkan menghabiskan sisa-sisa waktuku. Aku diberi obat, cuma obat pereda nyeri. Aku sering muntah darah, pingsan, mimisan dan gejala-gejala aneh. Kukira dokter hanyalah manusia, sebab dia bukan Tuhan apalagi dia tahu takdirku. Tapi, perkiraan dia meleset sedikit. Aku meninggal saat terapi.
Sejak itu, ada beberapa penyesalan yang aku bawa mati, yaitu telat untuk berucap selamat tinggal dan tak lagi menatap ke dalam cairan pekat dalam pupilmu yang menenggelamkanku.
Aku tak bisa lagi merasakan sensasi dikagetkan ketika bus melewati jalanan berlubang. Atau mendongeng di depan anak-anak. Aku tak lagi bisa menemui kakek, nenek, sepupu, bibi dan paman di Saitama. Ah, rasanya aku ingin 'mengekang'.
Aku tak sadar keluar dari 'batasan'. Oleh karena itu, aku meminjam tubuh adikku sebagai perantara aku bisa mengirimkan surat-surat untukmu.
Begini, Zen, tubuhku akan tampak nyata setiap tanggal 26. Aku akan menari di bawah pohon ketapang di sekolah Widyatama. Datanglah jika mau, aku akan menari sepanjang malam. Kamu bisa memelukku, dan aku bisa melihat ke dalam pekat pupil matamu.
Terima kasih penjelasannya tentang stoikisme, Zen!
Shoko Nagisa.
***
Aku menyergap seorang anak lelaki mengenakan pakaian serupa ninja serba hitam. Malam itu aku begadang dan aku bisa mengetahui yang mengambil surat itu adalah adik Nagisa. Namanya, Haruka. Dia mengaku malu menyemat nama yang biasa dipakai perempuan untuk dirinya yang seorang lelaki. Haruka bisa melihat kabut kakaknya yang sering menyelinap masuk tubuhnya untuk sekedar membaca surat dariku dan membalasnya. Haruka juga bercerita tentang bagaimana terkejutnya dia saat tahu onee-san nya yang telah meninggal, muncul dalam bentuk kabut saat tanggal 26 bulan lalu.
Haruka meminta maaf, sebab dia kata dia bergerak ke sini karena tubuhnya diatur Nagisa. Dan mungkin terganggu karena sering menyelinap malam-malam.
Aku tanya di atas note-ku, apa Nagisa ada di sini?
"Iya, dia di sebelahku. Menutup wajahnya."
Katakan padanya, aku menyukainya.
Haruka menutup mulut, Haruka menangis. Dia menutup wajah dengan kedua tangan. Badannya bergetar dan aku menatap pada rembulan; pada cahayanya yang dibantu bias matahari, pada pekat tumpahan tinta di atas kepala kami. Aku berharap Nagisa di mana pun tempatnya, membaca pernyataan yang sebenarnya. Kegiatan surat menyurat tetap berlanjut, aku senang mengetahui semua dan sedih. Sebab, dia kini menjadi jiwa di dunia 'ide'. Namun, dia memaksa untuk menembus 'batasan'. Pada tanggal 26, tersilap mata melihat sesosok perempuan mengenakan tunik menari gemulai di bawah pohon ketapang.
***
Padamu Sang Pencipta Sajak
Sejengkal kita berada dalam tempat berbeda
Menyangkal arti 'realitas', bahwa entitas menjadi sesuatu yang pelik
Sadarkan bila aku seperti ini karenamu?Pada tiap langit kemerahan, kubuka gorden untuk mencari senyummu di kaki langit.
Kulirik setumpuk surat darimu
Namamu tersemat dalam pikirku
Dalamnya tak terkira, bagai sumur yang tak menjanjikan dasarPadamu yang tak lagi terlihat
Aku menangisi yang telah pergi
Bahwa waktuku untuk menyukaimu, akan kalah oleh kepergianmu
Suatu waktu, kau tak akan selamanya di sini.Ragamu telah meranggas, rapuh dalam tanah dan sendirian.
Padaku yang baru mengenal dunia merah jambu, kau adalah pelik dan manis di antara mewahnya dunia itu.Selamat jalan dan sampai bertemu di tanggal 26 yang terbatas.
Zen Archie.
***
Nagisa, kini aku tahu. Dirimu ada dalam sosok Haruka yang jujur dan apa adanya.
***
Anjay hampir tamat
Hahahahah
KAMU SEDANG MEMBACA
Larik Terakhir [End] [Lengkap] ✅
RomanceDi bawah pohon ketapang itu, sebongkah tubuh menari dalam renungan. Payah tatkala mengeja elok atau rupa yang samar. Mengingat diri yang jatuh dalam belanga, kidung jingga melangit hingga menetaskan sebuah suara; wahai pemilik kasih, renungkanlah du...