ZenHari itu tiba. Hari di mana pengadilanku akan berlangsung.
Malam ini, tak bisa lama. Aku menari tergesa. Aku tak bisa lagi menanyakan yang kamu tahu. Padahal aku penasaran tentang Socrates yang meminum racun cemara. Aku penasaran dengan filosof alam, dan belum tuntas aku mengenal tiga filosof besar Yunani. Aku belum tahu beberapa aliran filsafat sinisme, stoikisme, epicurean, neoplatonisme dan mistisme.
Ada banyak hal di tempatmu hidup yang belum puas aku cicipi atau jejak. Aku ingin melihat reruntuhan di Acropolis, menjelajahi Tibet dan minum sake saat aku kuliah di Jepang.
Tapi, waktunya tak cukup. Aku akan tinggal dan menetap menjadi jiwa abadi di dunia di mana asal mula terbentuk. Tempat sesungguhnya jiwa-jiwa kembali.
Jadi, malam ini, ingatkan aku untuk tidak menangis. Ingatkan aku jika aku melepaskan tanganmu ...
Shoko Nagisa
***
Aku menatap pertunjukkan terakhir itu dengan sedikit luka menganga di hatiku. Aku berusaha menguatkan diri, sebab aku adalah orang kuat yang tak akan runtuh oleh kehilangan sekali. Tapi, ketika melihat matanya memenjarakan pandanganku, aku sadar bahwa wajah dia semakin mendekat. Bibir perlahan akan menyentuh dan terjadilah sebuah ingatan kuat yang kelak akan aku ceritakan suatu nanti. Nagisa menciumku dengan air mata yang terus mengalir. Rasanya aku ikut terbang bersama partikel-partikel berasal dari tubuhnya. Terbang menuju angkasa luas.
Tubuh Nagisa meranggas, sedang genggam semakin keras. Tangis hancur, aku pecah berkeping-keping. Betapa tak mau, betapa ingin aku membawa tangan ini. Memperlihatkan padanya beberapa hal yang menyenangkan, tersembunyi di gegap gempita kota yang tak pernah tidur. Hei, Nagisa apa perpisahan memang rasanya seperti ini?
Tangan Nagisa semakin hilang menjadi partikel cahaya, aku mencengkeram semakin keras. Nagisa, tunggulah sebentar lagi, aku mohon. Aku mohon Nagisa, jangan dulu, Nagisa, Nagisa!
Kami masih berciuman hingga aku sadar bahwa cahaya yang dihasilkan Nagisa perlahan menggelap. Aku tahu dia sebentar lagi lenyap. Pelan, partikel cahaya itu berubah menjadi kunang-kunang putih, terbang beriringan menuju yang tak 'terbatas'. Aroma Nagisa, aroma beri tercampur darah, tertinggal dalam setelan bajuku.
Lenyap. Nagisa sudah tiada lagi. Dia telah kembali meninggalkan selendang yang dia pakai saat menari. Juga amplop yang tertinggal di sisi kakiku.
Aku mengambilnya sambil bergetar, susah sekali untuk menjadikan segala normal. Kedua mataku berkabut, tetes air mata terus mengalir bagai dam yang jebol. Aku berteriak, memukul dada yang sesak. Perih dan aku terus menyentuh bibirku, di mana jejak Nagisa masih hangat membekas di sana. Oh, Nagisa, ini sangat menyesakkan batinku. Begitu singkat kisah yang kita emban.
Aku tatap bekas tempat Nagisa menari, membayangkan wajahnya begitu anggun, cahaya yang menyilaukan namun meneduhkan. Nagisa, terima kasih.
Aku pulang melalui jalan-jalan remang, membaca isi surat terakhir di kamar dengan air mata yang terus mengalir.
***
"Pertemuan kita sudah dijadwalkan. Jauhhhhhhh .... Sebelum kita ada."
***
Aku berada di tribun. Menyaksikan pertandingan futsal tingkat SD. Haruka bertanding di sana, dia berkeringat dan jauh lebih bahagia daripada aku yang masih dikoyak perasaan sendiri.
Aku di sini karena Haruka yang meminta. Dia tak mau aku bersedih terus menerus, sebab katanya, Nagisa---atau yang biasa dia sebut onee-san menyiapkan sesuatu selain 'sesuatu' untukku.
Setelah pertandingan itu berakhir, Haruka berlari ke arahku. Kami masuk bus dan diam sampai rumah keluarga Shoko. Aku membungkuk pada kedua orang tua Nagisa, mereka menarikku untuk sampai pada tempat berdoa, di sana ada salib disertai dua lilin di kedua sisi bingkai foto Nagisa yang senyum mengenakan seragam SMP Widyatama.
Mereka kesulitan ketika berbicara denganku. Aku juga, tapi itu bukan masalah. Tepat pada sore harinya, aku yang kembali segar setelah melihat memorabilia Nagisa, pulang sembari mendekap baju terakhir yang dikenakan Nagisa saat hari kematiannya. Dan, foto yang dicetak memperlihatkan aku tengah mengangkat kardus dan Nagisa di sampingku. Difoto entah oleh siapa.
Nagisa, semuanya masih memisauku. Aku terkadang memanggil namamu, sering-sering aku menangis. Aku bergetar ketika membaca ulang surat terakhirmu.
Nagisa, aku mencintaimu.
***
Swipe untuk ke chapter terakhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larik Terakhir [End] [Lengkap] ✅
RomanceDi bawah pohon ketapang itu, sebongkah tubuh menari dalam renungan. Payah tatkala mengeja elok atau rupa yang samar. Mengingat diri yang jatuh dalam belanga, kidung jingga melangit hingga menetaskan sebuah suara; wahai pemilik kasih, renungkanlah du...