Aku Menyebutmu dalam Tiap Ratap

21 5 0
                                    


Aku, Zen, 17 tahun. Memandang pada barisan gedung-gedung di atas sebuah atap apartemen. Biru muda cerah menandakan suhu lumayan panas. Dan bukankah di kota metropolitan ini suhu selalu panas? Aku memotretnya dan akan dicetak untuk dikirim bersama suratku untuk Nagisa.

Aku turun dan menghentikan laju taksi. Pulang sambil tersenyum saat memikirkan balasan dari suratku dua hari lalu.

***

Zennnnnn!

Betapa aku ingin menemuimu lagi! Apa kabarmu? Apa pengetahuan filsafatmu makin bertambah? Aku penasaran, definisi ringkas tentang stoikisme itu bagaimana? Sebab, aku rasa ajaran yang dikembangkan Zeno itu perlu.

Tapi, kalau kamu kurang layak untuk memberiku penjelasan tentang itu, tidak apa-apa.

Zen, apa kamu ingin kita bertemu lagi? Di sini teduh, aku makan banyak makanan manis!

Shoko Nagisa.

***

Aku sempat ingin menanyakan kepada Nagisa, apakah dia memang kembali ke Jepang? Kalau iya, kenapa tidak memberitahu? Tetapi, rasa-rasanya kurang baik, sebab aku dan dia bertemu sebatas sekali di hari sama. Tak ada kabar lebih lanjut, tapi 'rasa' yang aku tanam untuknya berlanjut.

Setelah memandangi hasil dari cetakan fotoku di atap, aku memasukkan itu bersama surat yang telah aku tulis.

***

Nagisaaa!

Kamu menanyakan perihal stoikisme, ya? Baik akan kutuliskan apa yang aku tahu.

Mereka, kaum stoik, menekankan bahwa semua proses alam, seperti penyakit dan kematian, mengikuti hukum alam yang tak pernah lekang. Oleh karena itu, manusia harus belajar untuk menerima takdirnya. Dari sini kamu paham, kan? Bahwa semua tidak terjadi secara kebetulan, semua terjadi karena ada sebabnya.

N. B. Aku mengutip itu dari buku yang disarankan guruku, aku baru baca sampai bagian Helenisme, hihihi.

Tentu, Nagisa! Aku ingin bertemu, aku kangen denganmu! Apakah kamu masih suka ketiduran saat di bus?

Zen Archie Tanaya.

***

Saat selesai pelajaran Sosiologi dan guruku pulang, aku sebentar melirik pada halaman depan. Di dapur ibuku memanggil namaku, menyuruhku untuk makan malam dan aku turuti hingga bedug magrib.

Aku bertanya, ibu apa ibu pernah melihat seseorang menyelinap ke halaman depan? Sambil menggerakkan tangan seperti biasa.

"Tidak, Zen. Saat kamu tidur, ibu akan terlaku fokus dengan alur cerita sinetron."

Aku merengut dan kembali ke kamar.

***

Nagisa, jika memang kamu sedang di negara asal kedua orang tuamu, ceritakan bagaimana suasana di sana! Aku memiliki gambaran sedikit tentang negara itu.

Zen.

***

Pada tiap sela daun pohon kerai payung, namamu tersemat dalam tali-tali di dunia tanpa batasan. Kau membumbung tinggi, hingga ratapan bagiku adalah sebuah kewajiban tiap selesai ibadah. Aku bertanya kepada Tuhanku, segeralah berikan jawaban lewat perantara mana saja. Sebab, aku menyebut namamu dalam tiap-tiap doa; aku menantimu di tempat sama, berharap duduk berdampingan di bus yang sama. Saling membalas surat tidaklah cukup untuk memvisualisasikan bayanganku menjadi indrawi. Ah, apa kamu memang sengaja ingin bermain petak umpet denganku?

***

Yap, dikebut terus, mumpung cemerlang!

Sal.

Larik Terakhir [End] [Lengkap] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang