Zen,Pastinya kamu jangan menangisiku. Aku masih ada di sini. Cuma waktuku terbatas. Zen, aku menyukai foto hasil jepretanmu. Aku tak peduli denganmu yang tunawicara, tapi aku sangat senang kamu mampu merangkai kata.
Sudah cukup bagiku dan lengkap. Aku banyak menulis surat untuk kerabat yang aku tulis di surat kemarin. Aku meminta maaf pada Haruka dan memintanya untuk mengirimkan satu per satu surat-surat itu.
Namun, Zen, tidakkah kamu melihat kalender? Kamu menandai tanggal 26 di bulan ini dengan tinta merah. Kamu siap menemuiku?
***
Aku berkemas malam itu. Aku menyelinap keluar lewat jendela kamar. Aku memanfaatkan fokusnya ibuku yang tengah khidmat menyaksikan sinetron. Aku tahu letak sekolah Widyatama, cukup dengan berjalan kaki sekitar sepuluh menit, akan sampai di sana.
Aku memandangi pagar menjulang yang dikunci. Berusaha melihat ke dalam yang remang. Aku memikirkan cara bagaimana agar bisa masuk ke dalam.
Aku memanjat pagar tembok. Untung, tidak dipasang rem kawat. Saat aku akan turun, aku menginjak ranting dan mengagetkan kucing tidur. Aku berjalan pelan-pelan, melalui lorong-lorong kelas dan sampai di halaman belakang.
Di sana. Ya, mataku menangkap jelas. Seorang perempuan berkulit pucat mengayunkan tangannya, di tengah cahaya putih kekuningan yang berpijar sehingga satu-satunya yang bercahaya hanya dirinya.
Aku khawatir dia akan tertangkap kamera pengawas.
Mula-mula, aku tak mau mendekati. Sebab, air mataku mengalir deras dan mataku bengkak karenanya. Aku melihat di balik pohon jambu dan ilalang tinggi, bahwa rambutnya yang legam sebahu berayun elok mengikuti arahan tubuhnya.
Apa dia benar Nagisa?
Rinduku tak bisa ditahan. Aku berlari dan diam di depannya. Hatiku sesak, saat mata dia menatapku dengan teduh.
"Zen," dia duduk. "Maaf, ya."
"Takdir memang sangat misteri. Tapi, di malam ini kamu bisa memelukku."
Nagisa meraih tanganku untuk dia cium dan genggam. Dia mendekatkan tubuhnya padaku, berpelukan hangat dengan segala rindu pecah di setiap detik. Aku menghirup dalam aromanya. Seperti buah beri dicampur darah. Nagisa benar nyata, dia ada dalam dekapku.
***
Aku terbangun keesokan harinya. Tentu Nagisa telah tidak ada di sampingku. Untung hari itu hari Sabtu, jadi aku tak perlu malu dianggap penyusup oleh seluruh masyarakat sekolah ini.
Aku melihat amplop cokelat di sebelahku. Tertanda Nagisa di atas pembukanya.
Zen,
Ketika itu aku melihat dua hal sebab mengapa aku bisa menautkan taliku dengan tali milikmu.
Aku sadar waktuku tak lama. Aku mencari lelaki yang pantas untuk aku sukai. Aku bertemu denganmu sekali dan aku sadar dengan hatiku waktu itu. Kedua aku bahagia rasanya menemui orang sepertimu. Ah, rasanya tak bisa dijelaskan.
Malam tadi sangat berkesan, Zen. Aku merasa dekat denganmu dan ingin selamanya ...
Tapi, apa daya aku tak bisa. Sebab, kamu memiliki masa depan yang jauh lebih baik. Untuk saat ini, dalam penghabisan waktuku di sini, izinkan aku menjadi pasanganmu.
Sampai jumpa di 26 bulan berikutnya
Shoko Nagisa.
***
Sejengkal atau beberapa bab lagi!
KAMU SEDANG MEMBACA
Larik Terakhir [End] [Lengkap] ✅
RomanceDi bawah pohon ketapang itu, sebongkah tubuh menari dalam renungan. Payah tatkala mengeja elok atau rupa yang samar. Mengingat diri yang jatuh dalam belanga, kidung jingga melangit hingga menetaskan sebuah suara; wahai pemilik kasih, renungkanlah du...