[10/10]

2.3K 457 72
                                    

Meski begitu ...

•••

Surai legam terikat tinggi. Puan melirik ke sana kemari, guna mencari eksistensi sang ayah, yang kini ia temukan. Terbaring di atas sofa, matanya terpejam. Sementara bibirnya tengah komat-kamit, seperti membacakan mantra jatuh cinta. Emang ada? Nggak ada kayaknya, saya ngarang.

"Papa?"

Megumi mendadak pura-pura tidur, biar anaknya satu ini sadar dan langsung saja balik badan. Tapi sayang, bukan (Name) kalau nyerah gitu saja.

"Aku akan pergi selama beberapa waktu."

Kelopak mata terbuka. Megumi langsung duduk tegak. Menengadah guna pandangi rupa sang anak. Gadis kecilnya, kini berubah menjadi wanita dewasa.

"Huh? Kemana?"

Apakah ke rahmatullah?

Megumi nengerutkan keningnya. Bariton serak bertanya, dijawab dengan senyum khas sang anak.

(Name) kini meletoy-letoykan tubuhnya macam jeli sambil tertawa bangga. Bukannya tersepona, Megumi malah sakit telinga. Macam petasan gesek. Udah gitu berisik kek pake toa.

"Hehe~ aku diajak main sama Om Baji(ngan)!"

"Stres, si Jingan kan gak nyata."

Sang anak tersenyum aneh. Kini beralih goyang dumang. Gilanya yang kumat membuat Megumi stres sendiri. Ini sih (Name) cuma pengen main doang.

"..."

Megumi nenghela napas berat. Menatap datar anaknya yang kini caper, dari kayang sampai salto depan belakang hanya demi diberi izin.

"Berapa lama?"

"Hanya beberapa hari."

Curiga beberapa bulan. Tapi gak masalah, sebenarnya. Megumi justru bersyukur ini anak gak ada dirumah.

Memijat pelan pangkal hidung, Megumi menoleh. Menatap sang anak yang tersenyum tipis. Kini tampak kembali waras sesudah memungut otaknya yang jatuh di persimpangan jalan halu.

Tunggu, sejak kapan putrinya sebesar ini?

"Kau ... "

"Iya?"

Megumi mendengus lemah, kemudian terkekeh. Bersirobok netra sebelum akhirnya mengayunkam tangan.

"Tidak. Berginjal-ginjalah."

"Hehe. Terima kasih!"

•••

Sampai di depan rumah, Megumi memandangi anaknya yang menaiki mobil. Saat menginjak usia kepala dua, (Name) meminta—memalak—ayahnya. Kalau gak dibeliin mobil, nanti mainan monopoli Megumi dibakar. Jadilah dengan berat jantung Megumi merelakan duit arisan untuk mobil anaknya.

Kemudian, kaca diturunkan. Tangan dan juga sebuah kepala menyembul dengan seulas senyum. Anaknya melambai dengan senyuman hangat. Sehangat mentari. Begitu panas sampai Megumi enggan mendekat. Dih, siapa juga. Maunya jauh-jauh dia mah.

"Selamat jalan ke pangkuan yang maha—"

Mobil dimundurkan. Berhenti di depan Megumi, tepat pada bagian pintu bagian belakang. Sang ayah kemudian mengerutkan kening bingung, memandang sang anak yang kini mengukir kurva.

"Apaan Neng?"

(Name) tertawa kemcang. Kemudian tersenyum miring, kendati hangat pada wajah tak dapat dipungkiri.

Gadis itu sedikit menggerakkan kepalanya. Memberi isyarat bagi Megumi untuk masuk.

"Kata siapa aku bakal pergi sendiri?"

•••

Omake

"(Name) ... Papa sayang kamu."

"Hehe, aku kagak. Yuk gas ngueng pergi."

"Tapi Papa belom mandi."

"Oasu—"

... aku sungguh menyayanginya.

𝐏𝐀𝐏𝐀! fushiguroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang