Selepas kejadian Minggu lalu yang menurut Alfi sangat ganjal, Alfi berusaha bersikap biasa saja. Apalagi saat Lila mulai gila. Gila disini adalah Lila benar-benar menunjukan kegiatan atau kelakuan yang tidak normal. Alfian sudah paham dengan sikap Alila itu, Alfi telah mengganggap dirinya tengah tinggal bersama orang sakit jiwa.
Kali ini yang Alfi dapati adalah Lila yang sedang berdiri tegak di balik sofa. Lengannya beberapa kali terangkat, seperti memegang sesuatu lalu menyentaknya keras sambil bersorak seperti, "Yosh!"
"Alfi minggir nanti kena bola!"
"Eehh!"
Duk!
Alfi benar-benar terkejut saat Lila berteriak hingga ia reflek jongkok dan pinggangnya terbentur ujung meja. Hingga ia berdiri sembari mengelus pinggangnya.
"Alfi kenapa? Sakit pinggang?"
Alfi meringis pelan karena nyeri. Sekaligus merutuki nasib karena hidup dengan Lila. Alfi menggeleng pelan lalu tersenyum tipis membalas Lila.
"Ok. Alfi jangan berdiri disitu, nanti kena bola kasti Lila." Lila mulai mengayunkan lengannya lagi seolah sedang memukul bola.
Alfi menghela nafas. Sepertinya Alfi memang sial. Alfi berjalan ke pantri mengambil minum lalu meneguknya hingga habis segelas.
"Lila udah dulu mainnya ya?"
Lila menoleh cepat. "Kenapa?"
"Makan siang dulu ya, terus nanti minum obat."
"Nggak mau."
Alfi kembali menarik nafas berat. Dengan gontai dia melangkah mendekati Lila, berdiri di balik sofa yang menghadap Lila.
"Alfi ngapain disitu awas, ada bola!"
Alfi mengambil ancang-ancang kemudian melompat, seakan menangkap sesuatu.
"Hap! Bolanya Alfi simpen dulu, sekarang Lila makan dan minum obat oke?"
"Nggak mau, balikin bola Lila! Lila nggak suka minum obat."
"Nanti main kastinya sama Alfi, janji!"
Lila berbinar-binar, lalu melompati sofa dan duduk manis. Alfi tidak lagi terkejut.
"Suapin Lila, janji ya nanti Alfi temenin Lila main."
Alfi membawa piring dan segelas air, tak lupa dengan beberapa bungkus obat lalu duduk di samping Lila. "Main bola kasti Lila," jelas Alfi karena ia tak mau Lila salah paham.
Kata 'main' untuk Lila menurut Alfi adalah tanda merepotkan bahkan bisa mengancam nyawa.
"Aa... Buka mulutnya Lila."
Lila menurut, mata Lila tak beralih dari Alfi yang telaten menyuapinya.
"Alfi,"
"Hm?"
"Alfi jangan pergi. Jangan tinggalin Lila."
Alfi mengernyit.
"Nanti Alfi bisa mati lhoo..."
Bulu kuduk Alfi merinding kala menjumpai senyuman Lila.
***
"Alfi,"
Alfi mendongak menemukan Lila berdiri di hadapannya.
"Lila butuh sesuatu?"
Lila merentangkan tangan seraya memejamkan mata. Belum sempat Alfi menghindar, tubuh Lila ambruk. Alfi bisa mencium bau kemalasan menguar dari tubuh Lila.
"Berdiri itu capek," keluh Lila di pundak Alfi.
"Duduk di sofa, Lila!"
"Duduk itu capek!" Teriaknya tepat di telinga kanan Alfi.
Alfi sontak menyingkirkan kepala Lila dari pundaknya dan mengusap telinganya yang sakit. Tidak terima yang dilakukan Alfi, Lila menggeram menggigit lengan Alfi yang tengah mengusap telinga.
"Aakkhhh! LILA!"
"Ninta a'af nggak!" Ucapan Lila belepotan karena masih menggigit tangan Alfi.
"LEPAS DULU!"
Lila cemberut. Alfi hampir menangis mengusap bekas gigitan anak anjing satu itu.
" Sshhh... Sakit Lila,"
Mendengar itu Lila kembali menggeram.
"Maaf, makanya jangan teriak di telinga."
Lila menggeram.
Pembaca, lihat sendiri 'kan kalo Lila sudah seperti anak anjing?
"Ada syaratnya."
"Nggak menerima syarat." Alfi beranjak dari sofa menjauhi Lila yang mulai menunjukan taringnya.
Baru saja Lila ingin melompat menerjang Alfi yang memunggunginya, kini berhenti mendadak saat Alfi melempar satu kotak kardus yang cukup besar. Sejenak Lila mengerjap lalu dengan senyum lebarnya Alila melompat kecil masuk ke dalam kardus.
"Ah..." Alila mencium bau harum kardus. "Kardus baru, istana baru, hahaha..."
Alfi menghela nafas. Melihat Alila meringkuk di dalam kardus seperti anak kucing mencari kehangatan.
Sampai kapan gue terjebak sama cewek gila ini? "Alila Revani. Gue tahu ada yang aneh sama nama itu."
Alfi melangkah lebih dalam ke kamar Alila. Kamar seorang gadis yang tampak biasa-biasa saja. Walaupun ada tumpukan kardus yang dilipat di pojok dekat balkon. Sekilas Alila terlihat seperti gadis manis dan manja, tapi dilihat lebih dalam Alila punya banyak keanehan. Selain sisi mentalnya, fisik Alila buruk walau kesehatannya baik.
Alfian mendekati nakas disisi single bed Alila, menarik salah satu laci paling atas yang menampakan tumpukan kertas putih dan gulungan yang nampak pelik. Karena penasaran, Alfian meraih salah satu yang berwarna merah.
Deg!
"I-ini, darah?" Jelas sekali Alfi mencium bau anyir dari gulungan itu. Tangannya sampai bergetar karena takut.
Bukan hanya satu, tapi sebagian besar gulungan itu berlumuran darah, dan bisa-bisanya bau anyir itu tidak tercium saat Alfi membuka lacinya. Setelah semua terlihat jelas baru Alfi dapat mencium bau anyir yang pekat.
"Alfi."
Kini seluruh tubuh Alfi kaku, gulungan kertas itu jatuh dari tangannya yang bergetar. Suara langkah kaki Alila yang pelan, terdengar menggema dan keras di telinganya.
"Alfi, ayo kita main."
Dan suara itu bagaikan, Bisikan kematian yang tak lama lagi menjemputnya,
-*
Sab, 27 November 21
KAMU SEDANG MEMBACA
ALILA
Teen FictionKalo drama di hidup udah mulai, mulailah gunakan otak untuk mikir. Karena Lila suka males mikir pake otak. "Ayo Alfi nyanyi, balonku ada lima!" 🎶 Alfian itu babu... Terlahir jadi babu... Alila itu bosnya... Alfian pesuruhnya... 🎶 "Yee...bagus bang...