Two you : Alila Suka Mie

33 3 8
                                    

"Pertemuanku denganmu adalah rencana terbesarmu, tapi cukup sulit aku tahu maksudmu."

***

Lila menghabiskan susu kotaknya setelah menelan satu buah obat penenang. Ia menghela nafas. Lelah. Seingatnya ia baru berusia 12 tahun, tapi kenapa rasanya begitu sulit bernafas?

Ia melirik wanita disana, duduk dibalik papan persegi elektrik dengan segala ribet, ruwet, riweh didalamnya.

"Mamih," panggilnya.

Ariyani mendongak mengangkat sebelah alisnya.

"Sudah tenang?"

"Kapan anak itu siap?"

Ariyani mengerjap. Memaksa tersenyum.

Sial!

"Umm...kayaknya kamu nggak perlu dia lagi."

Lila diam. Merasa bersyukur menelan obat penenang. Jika tidak ia tidak yakin, tidak akan merusak ruang kerja ini.

Jika Lila hanya diam tenang seperti itu, Ariyani malah sebaliknya. Ia merasa telah melakukan kesalahan fatal. Bahkan sekarang ia merasa gemetar.

Berada di dekat Lila memang sesuatu yang sangat berat. Anak berusia 12 tahun itu sama seperti sahabatnya dulu. Aslan, pria tampan yang sayangnya punya kepribadian mengerikan.
Emosinya bisa meledak-ledak diamanapun dan kapanpun. Tidak seperti Rara, punya tatapan setenang danau. Tapi jangan salah, Raisa atau biasa dipanggil Rara itu adalah wanita gila yang punya mulut super cerewet, senyumnya semanis gulali tapi bisa menjengkelkan dan menantang adrenalin.

Lila punya ciri dari kedua orang itu. Tatapannya setenang danau tapi juga bisa setajam belati.

***

Disisi lain,

"Tentu saja Bibi, aku pasti akan menang lagi nanti. Dan aku pastikan pulang nanti, medali emas baru akan bergabung dengan kawannya di kamarku."

"Ah! Bibi bangga padamu, Hunry. Tapi ingat berhati-hatilah. Ini adalah lomba terakhirmu sebelum ujian nasional."

Bibir itu menarik senyum lebar.
Sebentar lagi ia tidak perlu lagi pergi ke sekolah dan itu menjauhkannya dari pelajaran bahasa.

"Setelah itu, Alfi akan kejar cita-cita Alfi."

Alfi sering mewakili sekolah untuk lomba lari. Jadi atlet adalah cita-cita Alfi dari dulu.

Terdengar suara tawa disana,

"Pasti! Putra Bibi pasti akan sukses!"

Alfi menoleh saat seseorang memegang pundaknya.

"Ah, Bibi doakan aku yah, Sampai jumpa."

"Hati-hati."

Tut

"Ayo, buat nama sekolah kita menggema disana."

Mendengar ucapan Pak Septo, Guru olahraganya. Lelaki berambut hitam legam dan punya bekas luka dibawah dagu itu mengangguk mantap.

***

"Lila mau kemana?"

Lila mengerjap. Otaknya bekerja keras.

"Umm... Lila lupa mau kemana."

Ariyani tersenyum lega. Akhirnya Alila kesukaannya kembali. Walaupun ia harus menyetok kesabaran untuk menghadapi itu.

Karena tak kunjung ingat. Lila memutuskan untuk kembali duduk selonjoran di sudut ruangan.

"Loh kok duduk disitu?"

Lila mendongak. "Emang tadi Lila dimana?"

"Ya jangan duduk disitu lagi. Duduk di sofa, saja."

Lila menatap sofa panjang, empuk dan hangat itu. Rasanya ingin sekali duduk atau rebahan di sana. Tapi...

Lila menghembuskan nafas panjang. "Tapi Lila udah," Lila mendongak, "peeee weeeh..."

Tubuh Lila terasa berat sekali. Sangat lelah. Bahkan sekarang untuk menggerakkan jarinya saja tidak kuat.

Ariyani speechless. Dan dengan terpaksa menggapai lengan Lila lalu menyeretnya.

Lila pasrah saja. Malah ia mulai menutup mata, mengabaikan decitan sepatu kets milik Ariyani. Menandakan bahwa dia berusaha sangat keras menyeret gadis itu.

Setelah berhasil menduduki Lila ke sofa. Ariyani merebahkan diri di sofa panjang menghadap jendela. Tepat didepan Lila.

"Lila huh.. mau makan apah?"

Sumpah, Ariyani tidak menyangka Lila seberat ini. Perasaan tubuhnya kecil. Bahkan tingginya sebatas sikunya saja.

Lila membuka mata malasnya.

"Mie."

Ariyani terduduk. "Mending yang Laen. Lila kan tiap hari udah makan mie. Kasian lambung kamu. Mi instan itu ga sehat Lila."

Lila tidak peduli. Dengan lunglai Lila terjatuh miring di atas sofa dari posisi duduknya. Ia melirik malas pada Ariyani.

"Hmm. Mi, titik."

"Tapi-"

"Mi."

"Yang lain ya Lila. Ah persediaan mi nya udah habis!" Ariyani menemukan alasan.

"Penipu berdosa masuk neraka ditelan buaya."

"Serius Lila. Stok mi instannya udah habis."

"Beli sana!"

"Yang lain aja Lila."

" Ga mau." Lila memejamkan mata jika saja ia tidak mager. Pasti dengan cepat ia akan memaksa Ariyani pergi dari hadapannya.

"Lila jangan ngeyel!"

"Ya udah."

Ariyani tersenyum lega. "Lila mau makan apa?"

"E..miii!!" Setelah mengumpulkan tenaga akhirnya Lila bisa sedikit berteriak.

Ariyani mulai jengkel.

"Enggak usah makan aja kalo gitu. Kalo laper jangan ngerengek minta ini itu!"

"Telantarkan saja aku wahai wanita jahannam," kata Lila ngawur tanpa mengubah posisi miringnya.

"Lila, perbaiki posisi kamu! Nanti lehernya sakit!" Ariyani membantu Lila rebahan dengan benar.

"Telantarkan saja aku wahai iblis jahat," jawab Lila dramatis.

"Bodo amat!"

"Sungguh kejamnya iblis demon ini bahkan neraka jahannam saja tidak mau menerimamu. Dosamu terlalu berat."

"Enggak kasih kamu makan mi itu sebuah kebaikan!"

"Telantarkan saja aku wahai ahli neraka."

"Bisa berenti bahas neraka?" Alis Ar berkedut tanda kesal.

"Iblis neraka,Wanita jahat," Lila semakin menjadi.

"Diam! Oke aku akan segera kembali!"

Walaupun Lila yang semager ini adalah Lila kesukaannya, tapi Ar sedikit tidak terima kenapa mulut gadis itu tidak bisa diam.

Lila tersenyum tipis. Melihat Mamih Ar membanting pintu.

"Kenapa tidak makanan lain Lila? Mi instan itu tidak sehat." Lila menirukan gaya bicara Ariyani lalu tertawa hambar.

"Lila...juga ga tau." Lila melirik tatanan rapi gelas sterofoam bekas popmie di sudut ruangan.

"Cuma suka aja. Atau mungkin,

biar cepet mati?"

***

ALILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang