Happy reading!
***
Alfi mendengar alunan musik dari kamar Alila yang biasanya senyap. Ia menyipitkan mata saat suara Lila yang lumayan mengganggu pendengaran itu disusul dengan suara benda jatuh. Mencoba menetralkan nafas dulu sebelum emosi, Alfi lalu meninggalkan mesin cuci dan menghampiri kamar itu. Ingin menarik ganggang pintu saat Lila membuka pintunya terlebih dahulu membuat Alfi sedikit terkejut.
Belum sempat Alfi membuka mulut Lila sudah memeluk lehernya dan menariknya ke dalam kamar. Karena tubuh Lila pendek Alfi harus extra menunduk sampai tubuhnya di lepas, lebih tepatnya sedikit di lempar.
"Lila-" mulutnya langsung dibekap.
"Tunggu Alfi jangan marah dulu! Lihat Lila, Lila cantik nggak?"
Alfi mendorong Lila agar menjauh darinya.
"Apa?!"
"Lihat Lila! Cantik kan?"
Alfi mengamati penampilan Lila saat ini. Baiklah itu normal, sangat normal. Lila memakai baju yang lebih cocok disebut kain besar yang melilit di tubuhnya sehingga tubuhnya seperti kepompong besar berwarna ungu, topi pantai yang lebarnya seperti payung, flatshoes berwarna senada yang tidak tahu darimana, dan yang paling mengejutkan adalah melihat lipstik merah menyala dibibir Lila yang nampak belepotan. Alfi berusaha mati-matian menahan tawa dengan menutup mulutnya dengan kepalan tangan. Bibirnya mengulum senyuman saat Lila berputar di depannya.
Menarik nafas panjang Alfi mulai dapan mengendalikan diri. Ia lalu menganggukan kepala seraya berakting menilai.
"Gimana, Lila udah cantik kan? Lila mau persiapan buat besok kalau mau nikah sama Alfi."
Alfi mengangguk saja mengulum senyum. "Iya Lila."
Tinggi Lila hanya sebatas dadanya, entah dia yang terlalu cepat tumbuh atau Lila yang susah tumbuh. Seingatnya dulu Lila tidak sependek ini dan walaupun Lila ini kecil tapi masa otot Lila jangan diragukan. Lila ini kecil bertenaga banteng. Tapi mengingat Alfi ini setengah keturunan bule tidak heran jika tinggi Alfi lebih tinggi dari orang Asia.
"Alfi!" Panggil Lila membuat Alfi tersadar dari lamunan.
"Hm?"
Lila duduk di kasur bertopang dagu. "Alfi ingin Lila sekolah?"
Alfi menegakkan tubuh, ia menyusul Lila duduk.
"Lila mau?"
"Mauu.."
Alfi bertanya-tanya saat Lila tidak menunjukan mimik wajah berlebihan atau semacamnya. Lagipula sejak kapan Lila berubah pikiran dan tidak mengamuk perihal sekolah ini.
"Lila sudah bicarakan ini dengan Mamih tadi."
Alunan musik jazz di kamar Lila masih terdengar lirih karena memang tadi ia sempat melihat Lila mengutak-atik ponsel untuk mengatur music box.
"Seperti yang Lila bilang malam itu, masa bersantai sudah habis. Lila sangat senang saat Alfi disini."
Alfi mendadak tidak enak rasa. Ia tidak tahu Lila membicarakan perihal sekolah pada Ariyani. Karena memang Alfi tengah disibukan oleh beberapa misi beberapa hari ini. Semenjak tragedi penculikan Lila lima hari yang lalu, Ariyani lebih sering datang ke apartemen untuk menjaga Lila saat Alfi pergi. Alfi tidak tahu maksud kalimat Lila saat ini. Tapi ini seperti kalimat pengusiran,
"Alfi,"
"Lila sudah tidak butuh pengasuh lagi?" Potong Alfi
Lila mengangguk. "Iya Alfi."
Alfi tersenyum kecut. Jadi dia akan dibuang?
"Kalian tidak bisa membuangku begitu saja, aku juga bagian dari kalian saat ini."
Lila cemberut. "Alfi jangan salah paham dong!" Lila memeluk lengan Alfi mengintip wajah Alfi yang tampak marah.
"Alfi sudah sayang Lila ya?"
"Apa aku terlihat membencimu?"
"Dulu iya kan?"
"Aku hanya kesal!"
"Lila tahu! Ish" Lila makin cemberut.
"Aku nggak menyangka akan secepat ini kamu membuangku Lila."
"Lila udah bilang jangan salah paham! Lila masih butuh Alfi."
Alfi merogoh saku celana saat dering terdengar dari sana. Mendapat email dari Ariyani, Ia segera membukanya.
"Lila akan sekolah, tapi bukan di tempat yang Alfi mau. Bukannya seru kalau kita menyelam sambil nangkap ikan?"
Alfi melirik Lila, ternyata ini alasan Lila berubah pikiran.
"Menyelam sembari minum air?"
"Itu klise!"
Alfi menghela nafas. Ini akan merepotkan. Lila? Menjalani misi di sekolah? Apa Ariyani sudah kehilangan ingatan bagaimana Lila bertindak menjalankan misi?
"Aku yakin Miss Ar punya syarat."
Lila tersenyum lebar lalu melompat ke kasur.
"Lila hanya perlu ber akting! Lila adalah anak baik yang lemah! Bukannya itu seru, Alfi?"
"Aku juga punya syarat untuk menerima pekerjaan ini."
Lila melompat turun. "Kok gitu? Kan ini perintah mutlak dari Lila! Alfi nggak boleh nolak!" Lila berteriak nyaring.
Alfi selalu punya cara seperti sekarang ia mendekati lemari.
"Alfi mau ngapain? Taro lagi nggak!"
"Aku tetap mau kamu serius belajar,"
Setidaknya ia ingin Lila menjalani hidup dengan normal selayaknya remaja biasa. Walau memang Lila sakit tapi ia tahu Lila bisa di pancing.
Terdengar suara tangisan Lila yang dibuat-buat. "Hueee jangan dibawa, Lila akan belajar tapi belajar tetap nomor dua! Jangan dibawa pergi."
Alfi menyeringai lalu menaruh kotak itu di lantai. Kotak berisi koleksi wadah beragam mie instan berupa gelas sterofoam maupun kotak.
"Deal!"
Lila masih merengek pada Alfi.
"Alfi, tapi nanti kalo Lila hilang kendali gimana?"
Alfi terhenyak.
"Lila sadar kalo Lila sakit. Jauh sebelum Alfi kesini, Lila tahu Lila sakit, karena Lila selalu senang!"
"Jangan banyak bicara Lila, aku nggak mau kamu muntahin sarapan tadi pag-"
"Hueeek!"
Alfi tak terkejut kala Lila berlari ke kamar mandi dan muntah.
Ini selalu terjadi saat Lila cerewet. Lila jarang berbicara, selain malas, dia juga punya kepribadian yang sulit berkomunikasi dan beberapa pribadi yang emosional.
Jadi sepertinya saat berbicara banyak dan berteriak seperti hari ini, tubuh Lila tidak kuat hingga mual dan muntah.
Menghadapi Lila adalah hal sulit, namun mengurus Lila adalah suatu candu untuk Alfi.
Aneh memang!
***
Pub, sen 7 Maret 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
ALILA
Teen FictionKalo drama di hidup udah mulai, mulailah gunakan otak untuk mikir. Karena Lila suka males mikir pake otak. "Ayo Alfi nyanyi, balonku ada lima!" 🎶 Alfian itu babu... Terlahir jadi babu... Alila itu bosnya... Alfian pesuruhnya... 🎶 "Yee...bagus bang...