***
Lila terbangun dengan keadaan terikat di kursi. Ia mengerjapkan mata melihat sekitar.
"Lila diculik kah?" Gumamnya pelan lalu menguap lebar.
"Kayaknya iya deh," ucapnya lagi kemudian menguap.
Setelah merasa masih ngantuk, Lila kembali menutup matanya dan tidur lagi dalam keadaan terikat di kursi.
Jika orang normal akan berteriak minta tolong maka Lila akan menikmati waktunya dengan baik. Diculik? Lila sudah sering diculik dan rasanya bosan sekali. Setelah hampir tiga tahun tidak diculik sepertinya Lila akan menikmatinya dengan benar kali ini.
Belum sempat Lila menutup mata dengan benar, Lila mendengar pintu dibuka. Lila mengernyit saat mendengar bahasa yang mereka gunakan.
"Dia anak Aslan. Jika kita bisa membujuknya dengan benar. Aku yakin ASLAN bisa dengan mudah jatuh ke tangan kita."
"Aku tidak sabar mendapatkan hadiah dari Nyonya jika ia tahu kita berhasil menculik gadis kecil ini."
Seperti petir yang menyambar sekitar otaknya, Lila menggigit bibir dalamnya. Matanya tertutup rapat menahan semua gejolak di dadanya saat ini. Sepertinya sekalipun Lila mati, Lila tidak Sudi untuk mati di tangan wanita itu ataupun di bawah kendali wanita itu. Dia tidak sudi tangan kotor mereka menyentuh tubuhnya sekalipun hanya seujung rambut.
Jika saja penculik ini tidak ada hubungan dengan wanita itu, Lila pasti akan memberi mereka pengampunan dengan sedikit permainan tentu saja. Tapi sepertinya masa bersantai hampir berakhir di tahun ketiganya. Lila tidak keberatan.
Bukannya ini saat yang tepat untuk bermain? Tentu saja, permainan tanpa ampun dan menyakitkan namun pelan dan bersih.
***
Alfi berusaha keras untuk tidak memukul wajah Lila saat ini. Tentu saja, karena Lila sudah membuatnya khawatir setengah mati. Lihat tubuh kecil itu, bajunya kusam dipenuhi lumpur. Bibir kecilnya tertarik lebar dengan mata bulat hampir menyipit, nampak begitu bahagia.
Alfi berlari menghampiri Lila yang sepertinya hampir tumbang dengan senyuman lebar. Tubuh Lila sudah terhuyung ke belakang saat Alfi sampai dan menopang tubuh kecil Lila. Nafasnya memburu disela-sela ia mengangkat tubuh Lila dan membawanya pergi dari sana. Kembali berlarian dengan Lila berada di gendongan hingga mobil itu melaju dengan Ariyani sebagai sopir.
Alfi menunduk mendapati Lila tengah menatapnya, masih dengan senyuman lebar seakan dia baru saja mendapat hadiah luar biasa. Sedangkan Alfi menahan diri untuk tidak menangis. Dia hampir saja gila jika saja Alila tidak ditemukan.
"Ka-kamu," nafasnya terengah-engah sembari mengusap wajah.
"Kamu lebih jahat dari yang kukira, Lila."
Mata bulat itu mengerjap pelan, tangannya terangkat menyentuh pipi hangat Alfi. Alfi sedikit terkejut meski tangannya lalu menggenggam tangan mungil itu.
"Lila harus jahat untuk tetap baik-baik aja, Alfi."
"Siapa mereka, Miss?" Tanya Alfi membuat Ariyani yang tengah menyetir meliriknya sekejap.
"Belum diketahui pasti, tapi sejak dulu hanya satu orang yang berusaha mengambil Lila dari ASLAN."
Alfi mengernyit dalam mengingat-ingat. "TIGER?"
Ariyani mengangguk singkat, "Wanita itu sepertinya masih menginginkan Lila untuk kekuasaan mereka."
Lila menggeleng pelan setelah menyimak. Alfi menunduk seraya bertanya, "Kau baik?"
Lila mengangguk, "Bukan mereka, sepertinya wanita itu sudah menemukanku, Mamih. Dan itu artinya Lila harus berhenti bersantai. Lila berubah pikiran, Mamih."
Alis Ariyani sedikit menukik.
Alfi tertegun, binar mata yang tidak pernah Alfi lihat.
"Lila ingin hidup sebentar lagi." Alfi menangkapnya, keinginan yang sudah lama hilang dari mata Lila.
Ariyani menghentikan mobilnya, ia sangat terkejut dengan ucapan Lila yang terdengar jelas di telinganya. Ariyani menutup wajahnya saat tubuhnya mulai bergetar hebat.
"Untuk Alfi. Lila ingin hidup lebih lama."
Alfi tak lagi mampu merasakan apapun selain dinginnya tangan Lila dipipinya.
"Lila bersumpah nggak akan nangis sebelum semuanya tercapai, Alfi."
Alfi tahu, selama ini tidak pernah ia lihat ada airmata berarti yang muncul dari sana saat keadaan Lila sepenuhnya sadar.
"Tapi Lila janji akan tumpahin semua rasa sakit Lila di hadapan Alfi."
Lila mengusap pipi Alfi yang sudah basah entah sejak kapan.
"Alfi harus lebih kuat lagi. Harus lebih kuat agar bisa menerima semua rasa sakit Lila."
Kenapa harus dia yang menanggung rasa sakitnya? Sejak kecil Lila sudah terbiasa dengan rasa sakit 'kan? Kalau begitu tidak apa, biar Alfi yang akan jadi alat terkuat yang Lila punya.
"Sampai semua itu tercapai, Alfi harus jadi alat Lila yang paling kuat. Alfi harus bisa lebih kuat untuk jadi alat Lila mencapai tujuan itu."
Jahat. Tapi Alfi tidak keberatan, dia sudah sadar akan hal ini semenjak Alfi tahu keberadaan A-3.
"Harus Alfi yang Nerima semuanya, Alfi 'kan babunya Lila."
"Lila ingin hidup sebentar lagi dengan Alfi sebagai pisau kecil Lila yang paling tajam dan tersembunyi." Alfi merasakan tubuh Lila kian menghangat dipelukannya.
"Mereka semua bodoh karena sudah bawa Lila. Benarkan Mamih Ar?"
Ariyani tidak mampu berkata-kata ia masih menutup wajahnya sembari menangis pelan.
"Hidup ini memang nggak adil ya Alfi? Lila janji, akan tumpahin semuanya di Alfi."
Lila menarik tangannya ke depan dadanya, membentuk huruf X besar sembari tersenyum menatap Alfi. "Lila janji, akan nangis dihadapan Alfi suatu hari nanti."
Lila kembali menyentuh pipi Alfi. " Lila nggak akan mati sebelum Lila tepatin janji. Berhenti nangis ya babunya Lila?"
Alfi mengangguk pelan mengusap pipinya yang basah tanpa disadari. Membuat Alfi tertawa dan mencubit hidung Alfi yang sepertinya merah.
"Lila terluka?" Tanyanya lebih tenang. Lila menggeleng sebagi jawaban.
"Lila hanya capek. Tadi Lila nggak sengaja lompat-lompat terus muter-muter, terus manjat tembok buat kabur dan lawan mereka," cerita Lila seperti anak kecil dengan ekspresi berubah-ubah membuat Alfi tersenyum gemas.
Dalam keadaan mengenaskan seperti ini, Alfi masih bisa melihat binar mata Lila. Binar yang sekarang ini menjadi kekuatan untuk Alfi tetap bertahan ditempatnya. Rasa ketergantungan dibutuhkan oleh seorang Alila yang sebenarnya adalah kepalsuan yang dirancang rapih.
Alfi sadar, tapi dia ingin pura-pura tidak tahu dan menjalaninya dengan senang hati. Menjadi bodoh hanya untuk menikmati waktunya bersama Alila, pula merencanakan metode balas dendam yang lebih kejam.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ALILA
Teen FictionKalo drama di hidup udah mulai, mulailah gunakan otak untuk mikir. Karena Lila suka males mikir pake otak. "Ayo Alfi nyanyi, balonku ada lima!" 🎶 Alfian itu babu... Terlahir jadi babu... Alila itu bosnya... Alfian pesuruhnya... 🎶 "Yee...bagus bang...