Kemana Harus Kubawa Masalah?

9 2 2
                                    

Quest 4 : Buatlah sang tokoh utama pergi ke tempat yang sering ia kunjungi untuk menenangkan diri. Judul bab bebas, dan perhatikan ketentuan.

Hari ini masalah kembali menghampiriku. Masalah kali ini cukup rumit dimana pelaku yang membuat kekacauan itu keluargaku sendiri.

Dikala pilu melanda kemana harus kubawa masalah?
Berdamai dengan lingkungan yang masih kurang mendukung cukup menguras tenaga.

Apa salahku? Padahal nilaiku tak pernah sedikitpun turun. Hari ini memang ulanganku gagal itu karena kondisi fisikku sedang tidak baik.

Tangisku kini pecah kala tanpa sadar Bunda menamparku hanya karena masalah sepele yang ia sendiri tahu penyebabnya.

Mata sendu itu kini berubah tajam.
Dengan siluet bak silet Bunda tak hentinya menatapku penuh kebencian.

Tak tahan dengan perkelahian yang tengah berlangsung. Aku memilih pergi dari tempat bernama Rumah itu.

Dan kini aku singgah pada tempat dimana ibadah umat islam berlangsung. Sebuah bangunan megah dengan kubah berwarna emas dan pengeras suara disisinya. Bangunan yang bersih dengan beberapa hamparan karpet Aladin dan juga beberapa buku tebal yang berisi kalam-kalam Tuhan.

Terduduk diatas bentangan sajadah dan mulai menatap kosong kearah depan tempat dimana kini anak-anak panti tengah belajar mengaji.

Menatap dengan jeli setiap wajah penuh kepolosan, tersenyum tanpa beban dan tertawa tiada henti.

Bagiku tempat ini sangat berarti. Kenyamanan dan rasa syukur bisa kudapat ditempat ini.

"Assalamu alaikum Kak Raina," ucap seorang anak yang sedari tadi terus memperhatikanku.

"Waalaikum salam," jawabku sembari berjalan mendekat kearah anak perempuan bergamis pink dengan kisaran usia 5 tahun.

"Kakak jangan nangis," ucapnya kala aku telah mendekat dan duduk disampingnya.

Dia salah satu anak panti yang ada dikomplek perumahan tempatku dilahirkan dan tumbuh besar.

Darinya aku belajar akan arti bersyukur dan bangkit dari setiap keterpurukan.

"Kakak gak nangis kok. Yu lanjut ngajinya," balasku sembari mengelus lembut puncak kepala yang tertutup hijab.

Usia mereka memang masih belia tapi cobaan yang mereka hadapi teramat berat. Tapi, lihatlah mereka masih bisa tertawa tanpa adanya rasa penyesalan.

Dilain sisi kulihat ada dua orang ikhwan yang tengah menatapku dengan serius. Tak ku hiraukan tatapan mereka. Tapi kini mereka mulai mendekat kearah dimana aku duduk.

"Assalamu alaikum, haiii semua. Boleh Kakak gabung," ucap salah satu dari kedua ikhwan tadi tak kala mereka telah berada disisi kanan barisan anak lelaki.

"Waalaikum salam, boleh Kak," balas mereka kompak.

Ada sekitar 20 orang anak-anak yang tengah mengaji hari ini. 10 perempuan dan 10 laki-laki. Usia mereka sekitar 5-7 tahun.

Pengajar kali ini Bunda Intan pemilik panti sekaligus guru ngaji dimasjid tempatku berada kini.

Kegiatan mengaji kali ini berlangsung hingga pukul 4 sore. Tak ada niat sedikitpun untukku beranjak dari tempat ini.

Setelah shalat Ashar dan para malaikat kecil itu pulang ke panti aku masih duduk terdiam diatas hamparan sajadah yang tadi kugunakan untuk beribadah.

Kutengadahkan kedua tanganku, "Jika ini ujian yang harus kuhadapi tolong bantu aku untuk Ikhlas Ya Rabb. Sesulit apapun jalannya aku ingin tetap bangkit dan terus berjuang. Sekejam apapun mereka, mereka tetap orang tuaku. Tanpa mereka aku tak akan pernah bisa bertahan hidup dan tumbuh besar. Ingatkan aku YaRabb bahwa perjuangan mereka lebih besar dari rasa kecewa dan sakitku. Beri aku rasa ikhlas dan sabar Ya Rabb," kusadahi do'a kali ini.

Setelahnya aku memilih untuk tetap terdiam hanya berpindah tempat kepelantara masjid. Dengan masih mengenakan seragama putih abu. Aku mulai membuka salah satu aplikasi chating digawai pintarku.

Terdapat 10 panggilan tak terjawab dari Ayah dan Bunda. Tak kupedulikan hal itu.  Ada hal lain yang lebih menarik perhatianku.

"Lo kenapa? Gue liat mata lo sembab tadi."

Pesan itu terdapat dibarisan paling atas kolom chatting. Sepertinya ia tadi cukup jeli memperhatikanku.

Tak ingin membahas masalah yang masih terasa sesak didalam hati, kutinggalkan kolom chat dan beralih pada dunia sosia media yang lain.

Apalikasi bergambar kamera kini menjadi pusat perhatianku. Tapi lagi dan lagi ada notifikasi yang berhasil membuat pikiranku kalut.

"Lo kenapa? Gue ada dibelakang lo, kalau mau nangis ya nangis aja. Lo gak sendiri ada gue ada...ahh udah cepet nengok!"

Jujur aku ingin sekali membalikan badanku kearah belakang namun urungku lakukan dan akhirnya aku memilih pulang sebelum senja semakin menghilang.

"Kenapa kalian harus jadi biang masalah gue yang lain sih? Gue capek! Gue cuma mau hidup nyaman! Please go tapi...gue belum siap kehilangan," batinku sepanjang jalan pulang dari masjid tempatku tadi berdiam diri dan mencari kenyamanan.
.
.
.
To Be Continue

682 Kata
Rin_Blueberry
wga_academy

2 AMIN 1 KEPASTIAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang