Selamat membaca kisah Anggarin: Anggada Brawijaya & Karina Libby❤
Hai, Angga! Tujuan hidupku.
Apa kabar?
Aku mau cerita sesuatu, nih!
27 hari untuk Angga dan Karin.
- Karina Libby
Setelah Angga meminta putus, Karin yang tidak ingin kehilangan tuju...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-A.N.G.G.K.A.R.I.N-
Indro yang tengah bersantai di sofa mengamati penampilan Angga yang baru saja pulang dari bawah ke atas. Baju yang dikeluarkan, dasi yang miring, rambut yang berantakan, serta beberapa luka yang terlihat masih baru. Pasti keponakan kesayangannya itu terlibat dalam kegiatan baku hantam lagi.
Angga yang baru saja datang melempar tasnya ke sembarang arah lalu merebahkan dirinya di sofa.
"Eh, itu sepatu kamu lepas dulu!" tegur Indro melempar koran yang ada di meja ke arah kaki Angga yang berada di atas sofa.
"Nanti Angga bersihin. Gitu aja repot."
Indro menggeleng pelan. "Pulang mau magrib. Baju kotor semua. Luka di wajah. Kadar ketampanan kamu jadi menurun."
"Gak bakalan turun, soalnya ketampanan aku udah diwarisin dari ayah sama kakek." Angga memejamkan matanya.
"Kok Om gak disebut?"
Pertanyaan Indro membuat Angga membuka matanya lalu mengamati Indro. "Perut buncit, kepala rada botak, kumis tebel, bagian mana yang harus disebut ganteng?"
Jangan percaya dengan apa yang dikatakan oleh Angga. Pasalnya, walau sudah memiliki anak, Indro masih terlihat tampan dan segar bugar. Umur Indro dan Abraham juga terpaut 15 tahun.
Pria berusia 35 tahun itu menatap Angga sengit. "Mata kamu ikut ketonjok juga? Makanya gak bisa liat ketampanan, Om." Indro mengulas senyum bangga seraya menyugar rambutnya.
"Tua-tua banyak gaya. Kalau Tante Indri ada di sini, mungkin dia langsung nampol muka Om pake wajan kesayangannya."
"Gak mungkinlah. Tantemu itu sayang banget sama Om. Gak kayak Mama kamu yang suka selingkuh."
Kalimat terakhir Indro membuat Angga langsung duduk dan menegakkan tubuhnya. Rahangnya terlihat mengeras.
Sementara Indro sudah merutuki mulutnya yang tidak tahu waktu sudah berbicara hal sensitif yang membuat keponakannya itu kehilangan figur seorang ayah saat berusia 5 tahun.
"Oh, iya. Om, lupa mau ngomongin ini." Indro segera mengalihkan topik pembicaraan sebelum Angga mengamuk karena trauma itu. "Tantemu sama Chiko hari minggu nanti pulang dari Malang. Kamu jemput, ya?"
"Iya."
Setelah itu Angga segera berlalu tanpa mau memandang wajah Indro. Trauma itu masih ada. Trauma yang membuatnya suka mempermainkan hati perempuan. Saat mamanya tertangkap sedang berselingkuh, ayahnya sedang berjuang melawan penyakit jantungnya. Indro adalah orang yang melihat semua kejadian itu, mulai dari menangkap mamanya yang sedang berselingkuh dengan pria yang jauh lebih kaya dari ayahnya sampai kematian dari ayahnya itu.