Second Street

80 25 4
                                    

Tembakan itu begitu bersih, cepat dan tiada keraguan. Padahal dilakukan dari balik pintu, alias si pembunuh itu tidak memiliki penglihatan atas korbannya. Kemudian, si pembunuh itu menunggu beberapa saat sebelum akhirnya ia melemparkan pistol berperedam-nya ke dalam bak kereta dorong lalu menutupinya dengan cekatan.

Damien tahu, si pembunuh memang sengaja menunggu sejenak untuk memastikan kematian sasarannya dari teriakan wanita yang bersama korban. Sungguh teliti. Sebagaimana yang diharapkan dari pembunuh terbaik dan satu-satunya di organisasi. Ia tahu pantang meninggalkan sasaran sebelum kematiannya dikonfirmasi. Kemudian, si pembunuh dengan seragam cleaning service itu mendorong keretanya menuju belokan lorong, hingga ia tidak terlihat lagi di video rekaman CCTV yang ia sedang mainkan di komputer tablet-nya.

"Lalu, di mana ia sekarang? Apakah ia sudah keluar dari hotel itu?" tanyanya kepada seseorang melalui saluran telepon. Orang itulah yang mengirimkan video itu kepadanya, salah satu Soldier dari organisasi.

"Terakhir tertangkap CCTV, mobil sewaannya melaju di jalan tol menuju motel yang telah disiapkan di pinggiran kota," jawab orang di seberang sana.

Damien menyesap bourbon-nya sembari menganggukkan kepala, "Pastikan semua di TKP dibersihkan tanpa jejak. Termasuk rekaman CCTV apapun yang merekam sosoknya!" titahnya

"Ay, sir!"

Kemudian, pembicaraan telepon itu diputus dan ia menutup komputer tablet itu. Disesapnya lagi bourbon-nya dan disenderkan kepalanya ke sandaran sofa. Matanya terpejam ketika ia membayangkan apa yang diucapkannya kepada wanita itu bertahun-tahun yang lalu, "Jika kau memang ingin mengikutiku, bunuh semua perasaanmu... Kau tidak membutuhkannya... Untuk keselamatanmu sendiri."

Lihat apa yang bisa gadis itu lakukan sekarang. Membunuh tanpa rasa ragu, dingin dan tanpa gerakan terbuang, persis seperti yang ia ajarkan selama ini. Semestinya ia bangga, tetapi mengapa ia malah merasa ada lubang yang menganga semakin luas di dirinya.

***

Ia menginjakkan kakinya di stasiun kereta Xylite sekitar pukul 8 pagi, tadi ia sengaja mengambil kereta paling pagi dari Harmac. Kemarin, ada pengecekkan ulang yang harus dia lakukan sebagai The Supervisor, meski ia tahu pasti bahwa RAT dan Arni tidak akan melakukan kesalahan apapun. Jadi, tentu saja ia bahkan tidak menemukan remahan roti yang tertinggal dari mereka berdua.

Stasiun sudah dipenuhi orang, menimbulkan suara-suara bising yang berlalu lalang di indra pendengarannya. Sinar matahari pagi yang menyilaukan membias dari jendela-jendela di langit-langit, membuatnya menutupi matanya yang sebiru es dengan kaca mata hitam. Damien sedang melangkah dengan gegas ketika telepon selular-nya berbunyi.

Layarnya menunjukkan nama Touya.

"Bukankah jam segini biasanya kau ada rapat pagi di NIC?" tanyanya dengan nada datar.

"Kenapa kau begitu dingin kepada teman tersayangmu ini?" kekeh Touya, "Atau, mungkin kau ada kecemasan lain? Mengenai misi Krista di Pusat semalam misalnya?" tanya Touya dengan nada menggoda.

"Aku tidak cemas soal itu dan aku sudah memerintahkan kru Soldier membersihkan segalanya dengan cermat," ucapnya tanpa keraguan. Ia terus melangkahkan kakinya yang panjang membelah kerumunan stasiun. "Jadi, kenapa kau tidak berada di rapat pagi yang sangat kau sukai itu dan meneleponku?" tanyanya lagi, kali ini dengan sedikit mendesak karena ia sudah hampir sampai di lift yang akan membawanya menuju parkiran mobil.

Jeda sejenak, hanya ada suara nafas Touya yang terdengar agak resah. Bukan pertanda yang baik, tentu saja.

"Misi Polgarra terkonfirmasi."

Damien langsung menghentikan langkahnya, membuat orang yang berjalan di belakangnya sedikit mengomel. Dada Damien naik turun, tetapi dia masih dapat mengatur emosinya. "Bukankah kau bilang masih perlu waktu untuk menemukan target?"

City Square (M.O.D #3)Where stories live. Discover now