First Street

104 25 5
                                    

"Jika kau memang ingin mengikutiku, bunuh semua perasaanmu... Kau tidak membutuhkannya... Untuk keselamatanmu sendiri."

HAH!

Krista membelalakkan matanya, nafasnya memburu dan keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Dengan punggung tangannya, ia menutupi matanya. Perlahan mencoba mengatur nafasnya, menenangkan dirinya.

Mimpi. Yang pasti didapatnya setelah menjalankan misi. 

Seolah-olah ia selalu diingatkan untuk itu. Untuk membunuh perasaannya. Dingin. Fokus. Hanya memikirkan target. Tanpa ada keraguan untuk menarik pelatuk. Suara dia yang mengatakan itu masih terngiang-ngiang di kepalanya sekarang. Suara yang ia harus segera lupakan.

Dikerjapkan matanya, dilihatnya langit-langit kusam yang menaunginya, sofa dengan bantalan yang tampak berdebu serta televisi model lama. Tubuhnya terbaring di atas matras yang tidak nyaman dan ditutupi selimut yang sedikit berbau apak. Dengan itu semua ia sadar ia sedang berada di motel murah berlokasi di pinggiran pusat yang baru saja ia masuki selepas tengah malam tadi. Kepalanya sedikit berputar hingga ia memijat batang hidungnya, kejadian biasa karena ia terbangun dalam kondisi tidak tenang. Saat menolehkan kepalanya ke kiri, terlihat cahaya yang memberkas dari celah tirai. Tampaknya sudah pagi.

Krista bangkit dari tempat tidur, memakai jaket hitam yang tadi malam hanya ia lemparkan ke lantai bersama dengan seluruh pakaiannya yang lain karena terlalu lelah untuk membersihkan diri. Meskipun ia sudah melakukan pekerjaan ini cukup lama, nyatanya mengintai orang berjam-jam sampai orang itu berada di tempat yang ia mau, tetap terasa melelahkan.

Tenggorokannya yang kering dibasuh dengan segelas air putih. Kemudian, ia menyalakan tv dengan pengendali jarak jauh. Seketika kamar yang tadinya sunyi diisi dengan suara seorang wanita yang sedang membacakan berita mengenai ditemukannya anggota dewan rakyat yang tewas karena tembakan di kepala.

Jenazah si dewan rakyat tidak diperlihatkan tentu saja. Tetapi, ia tahu bahwa tembakan di kepala si anggota dewan sungguhlah sebuah tembakan yang bersih.

Karena ialah yang menyarangkan peluru itu di kepalanya.

Ia menunggu beberapa hari sampai akhirnya dewan rakyat itu check-in di hotel mewah tempat ia biasa bermain dengan wanita yang bersedia menjadi budak seks-nya demi uang. Jadi, ia hanya tinggal menyamar sebagai cleaning service dan menutupi wajahnya dengan masker. Setelahnya, ia mengetuk pintu dan membuat si anggota dewan berkepala botak itu mengintip lewat lubang. Satu tembakan, menembus pintu dan kemudian menembus otak si bapak botak. Ia menunggu sesaat sampai akhirnya samar-samar terdengar suara teriakan si wanita. Setelahnya ia berjalan dengan tenang, pistol dengan peredam tersembunyi di balik tumpukan selimut dan handuk kotor di kereta dorong-nya.

Segampang itu. Bahkan ia tidak terkena percikan darah sedikitpun. Nanti, biarlah ahli teknologi dari organisasi yang membersihkan jejak rekaman CCTV-nya.

Krista mengambil kopi kaleng dan wafer selai kacang dan stroberi dari dalam kulkas. Ia duduk di samping jendela, menatap plang besar motel murah yang sekarang sedang ia tempati. Penyiar di televisi masih mengoceh.

"Anggota Dewan Rakyat Vender Facet adalah anggota dewan yang sempat menjadi tersangka pembunuhan seorang wanita beberapa bulan yang lalu, namun dibebaskan karena penyelidik diklaim tidak mempunyai bukti yang cukup untuk mendakwanya..."

Sebagai informasi, ia benar-benar membunuh wanita itu, kecelakaan ketika permainan ranjang. Lalu, keluarga wanita itu menghubungi organisasinya karena si bapak botak tidak dapat dipenjara lewat jalur hukum. Itu hanya sebagian kecil dari yang sudah dilakukan oleh bapak botak itu. Bayangkan jika media juga mengetahui dosa dia atas korupsi puluhan miliar, perdagangan perempuan dan kejahatan seksual. Sayangnya, bapak botak itu juga adalah pendonor administrasi Pusat yang sekarang. Tentu saja ia bisa dengan mudah lolos dari jeratan hukum.

City Square (M.O.D #3)Where stories live. Discover now