Haoxiang tidak pernah pulang setelah keributan di pagi hari 3 hari yang lalu. Gue udah tau kalau Haoxiang tinggal di rumahnya sendiri setelah memastikannya dengan Junlin. Iya, gue nekat nanya ke Junlin."Haoxiang gak papa kok, Yixia. Abis pulang sekolah dia langsung ke rumahnya, gak kemana-mana. Haoxiang bukan anak nakal kok, dia tau batasannya sendiri." Kata Junlin meyakinkan gue. "Kita juga sering ikut dia ke rumahnya, nongkrong di sana."
Setelah mendengar itu gue sedikit lebih lega. Tak lupa memberitahu Mama juga agar Mama tidak ikut khawatir.
Selama 3 hari ini pula gue dan Haoxiang saling menjauh karena gak pernah ketemu. Bahkan berpapasan sekalipun. Tidak ada chat atau telepon, karena kami tidak pernah melakukannya saat masih akur sekalipun. Gue juga gak mau mengganggu Haoxiang, memberinya waktu lebih baik.
Tapi rasanya agak sunyi dan sepi. Apalagi malam ini, di bawah rintik gerimis, gue menatap air hujan yang turun dari jendela dapur sambil mengaduk cokelat panas. Haoxiang memang bukan orang yang selalu meramaikan rumah, tapi ketidakhadirannya cukup berpengaruh untuk gue. Apalagi gue udah 3 hari gak mendengar suara-suara musik rap dari kamar Haoxiang. Biasanya di jam-jam seperti ini, Haoxiang akan ikut bergabung dengan gue di ruang tengah. Entah ngerjain tugas bersama atau sekedar nonton televisi.
"Yixia, tolong buatin kopi Papa, ya."
Gue tersentak kaget saat mendengar suara Papa tiba-tiba. "Eh iya, Pa."
"Papa tunggu di atas, ya."
"Oke, Pa."
Papa meninggalkan gue ke lantai atas. Sepertinya dia akan bersantai di ruang santai lantai atas. Sama seperti ruang tengah, tapi di lantai atas mendapat bukaan dari kaca besar menghadap taman belakang rumah. Di sana ada rak-rak buku, televisi, dan sofa-sofa kecil. Papa sering bersantai di sana sambil membaca berkas-berkas tugasnya.
Setelah selesai membuatkan kopi Papa, gue langsung membawa dua minuman tadi ke lantai atas. Sesuai dugaan, Papa duduk di sofa sambil menghadap kaca besar yang sudah dibasahi dengan air hujan. Kali ini Papa tidak sedang membaca berkas perusahaan atau berita. Dia hanya duduk diam melamun melihat air hujan yang turun.
"Papa, ini kopinya."
"Ah, makasih, Yixia. Taruh di meja aja."
Gue menurut, meletakkan kopi itu di meja kecil samping Papa. Setelah itu gue bergerak menjauh. Namun kembali lagi saat terpikir untuk menemani Papa tiri gue ini. Wajah Papa terlihat lesu, ada raut lelah dan sedih di sana. Gue bisa melihatnya. Akhirnya pun gue ikut duduk bersama Papa di salah satu sofa.
"Papa mikirin apa?" Tanya gue membuka pembicaraan.
"Gak mikirin apa-apa."
"Papa bohong." Ujar gue mengelaknya. "Mikirin Xiang Ge, ya?"
Papa menghela nafas, "Iya."
Gue diam setelah itu. Tidak tau harus berbicara apa lagi karena dilanda kecanggungan.
"Dulu, Haoxiang selalu main-main di taman itu sendiri. Atau dia main sama Mamanya. Dia suka lari-lari di taman, ngejar kupu-kupu, main ayunan. Ini juga alasan kenapa Papa beli banyak permainan anak-anak di taman rumah. Karena Haoxiang suka main ayunan." Tiba-tiba Papa bercerita tentang Haoxiang, matanya menuju ke taman belakang di depannya. Taman yang masih diisi dengan berbagai permainan anak-anak. Ada gazebo, tempat barbeque, kolam berenang, dan berbagai jenis pohon-pohon yang sudah tinggi. Gue hanya diam menyimak cerita Papa.
"Papa selalu pengen ikut nemenin dia main, tapi Papa terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai gak punya waktu sama dia. Papa menyesal karena dampak buruknya sekarang, Papa gak bisa akrab dengan anak Papa sendiri."
"Sejak kecil Haoxiang susah berteman. Dia cenderung pasif. Dibanding nyari teman, dia lebih milih sendiri. Itulah alasan kenapa dia gak punya teman saat kecil. Selain karena daerah rumah kita yang kebanyakan orang berada, Haoxiang juga gak bisa bergaul dengan mudah."
Gue menyetujui itu. Bahkan di umurnya yang ke 18 pun Haoxiang masih susah bergaul dengan siapapun karena sifat dinginnya.
"Papa pasti pengen bisa akur sama Haoxiang, kan?" Tanya gue lembut.
Papa mengangguk. "Ya, selalu. Papa selalu pengen bisa akur sama dia. Tapi rasanya susah, Haoxiang juga selalu menjauhi Papa."
"Itu karena Papa belum menunjukkan cinta ke dia." Sahut gue.
Papa menoleh, menatap gue dengan tatapan bingung.
"Iya. Cinta. Papa belum menunjukkan ke dia. Haoxiang bukan orang yang susah buat ditaklukkan kok, Pa. Bahkan Mama aja berhasil naklukin Haoxiang."
"Wah serius? Papa baru tau."
"Iya, pas ulang tahun Haoxiang. Dia manggil Mama dengan sebutan Mama, bukan Ayi lagi. Haoxiang udah nerima Mama sebagai ibu barunya." Gue ikut tersenyum mengingat moment itu. Papa juga mengulas senyum.
"Sekarang giliran Papa. Setelah itu aku yakin keluarga kita bakal membaik. Kita bakal jadi keluarga yang hangat pada umumnya."
"Papa gak bisa..." Papa menunduk. "Papa udah pernah nyoba deketin dia, tapi semuanya sia-sia."
"Karena Papa cuma stuck dengan cara Papa itu." Gue menatap Papa serius. "Haoxiang itu hanya butuh dipahamin. Terima kekurangan dan kelebihannya, apa yang dia suka, kita terima semua itu, Haoxiang akan nyaman sama kita. Papa tau gak Haoxiang punya rumah sendiri?"
Papa mengangguk. "Tau. Papa pernah lihat rumahnya sekali."
"Terus, Papa tau gak kalau Haoxiang sangat suka musik?"
Papa mengangguk lagi.
"Terakhir, Papa tau gak kalau Haoxiang bisa membuat lagu?"
Papa terdiam kali ini. Menatap gue dengan pandangan bingung.
"Haoxiang bisa buat lagu, Pa. Lagunya bagus-bagus semua. Dia punya studio musik sendiri di rumahnya. Tapi Haoxiang gak pernah bilang dia mau jadi musisi."
"Pa, aku tau kalau Papa sangat berharap Haoxiang mau menjadi penerus perusahaan. Tapi Papa gak bisa memaksanya gitu aja. Papa harus bikin Haoxiang sayang ke Papa, setelah itu dia akan nerima apapun dari Papa. Itulah cinta, Pa. Saling menerima keadaan satu sama lain."
Gue terlihat sedikit lancang karena menasehati Papa tentang cinta. Tapi setidaknya gue bisa meluruskan masalah ini sedikit.
"Papa harus bikin Haoxiang merasa nyaman, merasa disayangi, dihargai, dan dicintai. Aku yakin setelah itu hubungan kalian akan membaik."
Papa menghela nafas. "Kamu benar. Papa terlalu egois dan dingin ke dia. Papa gak pernah nunjukin cinta ke dia."
"Tapi Papa adalah orang yang baik. Walaupun aku baru kenal Papa kurang dari dua tahun, aku udah nyaman dengan Papa. Merasa dicintai sama Papa, melihat Mama yang dicintai sama Papa, punya Gege yang baik, aku senang bisa kenal Papa."
Papa tersenyum. Dia merangkul bahu gue dengan lembut. "Terimakasih, Yixia."
"Sama-sama, Papa."
"Oh iya, hari minggu di kafe Windy Tea acara ulang tahun adiknya Haoxiang diadakan. Ajak dia ke sana, Yixia."
Senyum gue melebar mendengar itu. Sontak gue langsung memeluk Papa dengan senang.
"Siap, Papa!"
—14 things about yan haoxiang
KAMU SEDANG MEMBACA
𝟏𝟒 𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠𝐬 𝐚𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐲𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐨𝐱𝐢𝐚𝐧𝐠
Fanfiction(finished) Setahun menjadi adik tiri Haoxiang tidak berpengaruh apapun dengan Yixia. Dia tetap seperti merasa menjadi anak tunggal karena Haoxiang tidak peduli dengannya. Laki-laki itu belum menerima keberadaannya dan Mamanya. Belum juga bisa berdam...