thirteenth things

105 8 0
                                    


Besoknya, tepatnya di hari Sabtu, gue udah siap-siap dari jam 8 pagi. Kali ini gue memakai pakaian simple dengan memakai hotpants jeans dan kaos putih yang dimasukkan ke dalam hotpants. Lalu menggerai rambut dan memberikan sedikit semprotan parfum. Terlalu simple karena gue tipe yang gak mau ribet.

Sesuai perjanjian, gue yang akan duluan menjemput Haoxiang. Sebenernya alasan gue menjemput dia adalah karena takut Haoxiang gak mau pulang ke rumah, jadi sebaiknya gue aja yang datengin dia duluan lalu berangkat bersama dengan motornya. Gue ke rumah Haoxiang naik taksi untuk mempermudah perjalanan. Tak butuh waktu lebih dari setengah jam, gue sampai di rumah Haoxiang.

Ternyata Haoxiang udah siap-siap. Dia terlihat sedang memanaskan motornya di halaman rumah dengan pakaian kasual yang kelewat ganteng. Hari ini dia pakai kaos putih yang ditutupi lagi dengan kemeja hitam yang dibiarkan terbuka, lalu memakai celana jeans hitam seperti biasanya. Simple, tapi kakak laki-laki gue itu memang ganteng banget pake apa aja. Bahkan pake piyama abis bangun tidur pun dia tetep ganteng.

"Pagi, Ge!" Sapa gue dari luar pagar ke Haoxiang.

Mendengar suara gue membuat perhatian Haoxiang langsung beralih ke gue. Dia berjalan membuka pagar rumahnya, membiarkan gue masuk.

"Duduk dulu, Xia. Gue masih manasin motor." Ujarnya sambil menunjuk bangku di teras rumahnya.

Gue menurut, duduk di salah satu 2 bangku yang terpisah oleh meja kecil di tengahnya. Kemudian mengambil satu bekal sandwich yang dibuat Mama untuk Haoxiang.

"Gege udah sarapan?" Tanya gue ke Haoxiang yang baru saja keluar dari rumahnya sambil membawa sepatunya. Dia duduk di seberang gue, memakai sepatunya.

"Belum." Balasnya pendek.

"Nih ada sandwich." Gue memberikan satu sandwich di kotak bekal ke Haoxiang. Lalu memakan satunya lagi.

"Lo yang buat?" Tanyanya menerima sandwich itu.

"Bukan, Mama yang buat."

Haoxiang tidak menjawab setelah itu, dia ikut memakan sandwich nya. Setelah menghabiskan sarapan itu, kita pun berangkat menuju kafe yang dibilang Papa seminggu yang lalu.

"Ngapain ke kafe?" Tanya Haoxiang saat motornya sudah berjalan.

"Pengen beli kue." Balas gue pendek, untungnya setelah itu Haoxiang tidak bertanya lagi. Dia fokus membawa motornya ke kafe yang gue tunjukkan.




•••


"Ini kafenya?"

"Iya. Ayo, Ge!"

Kafe itu ramai. Tentu saja karena perayaan ulang tahun Ziyin. Haoxiang masih belum sadar dengan sekitar. Dia hanya mengikuti gue yang masuk ke kafe itu. Acaranya belum dimulai, tapi gue dapat melihat banyak orang yang berkumpul di panggung kecil sana.

"Ini ada acara apa gimana?" Tanya Haoxiang kebingungan.

Gue menarik tangannya, membelah kerumunan sampai kami berhenti hampir dekat panggung kecil itu.

Di atas sana, ada seorang wanita sekitar berumur 40-an yang masih terlihat muda dan cantik, lalu di sampingnya seorang gadis kecil dengan gaun pinknya. Memakai mahkota di atas rambut panjangnya, menambah kesan cantik dan imut. Haoxiang menatap dua orang itu dengan membeku. Kedua perempuan di depan sana belum menyadarinya, mereka masih sibuk menyusun lilin di atas kue sambil tertawa bersama.

Melihat Haoxiang yang belum juga bergerak, gue pun berinisiatif mengajak Haoxiang mendekati mereka. Berhenti di depan panggung kecil itu.

"Nihao, Ayi." Sapa gue duluan, membuat perhatian keduanya langsung beralih ke arah gue dan Haoxiang.

Wanita itu —yang gue yakin adalah Mama Huang, Mama kandungnya Haoxiang— tampak terkejut dengan kehadiran Haoxiang. Dia sampai menjatuhkan lilin di tangannya.

"Haoxiang...?" Gumamnya dengan suara bergetar.

Mata Haoxiang berkaca-kaca, dengan langkah pelan dia mendekati Mamanya. Menaiki panggung kecil itu, lalu memeluk wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini dengan erat. Menumpahkan isakan kecil bersama dengan Mamanya yang juga menangis saat memeluk dirinya. Anak yang sudah tidak dia temui selama 2 tahun lamanya. Karena tuntutan dari mantan suami, membuatnya tidak bisa menemui anak kandungnya sendiri.

"Mama..." Bisik laki-laki 18 tahun itu.

"Astaga, anakku... Kamu apa kabar, Sayang? Mama kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja kan selama ini? Papa kamu gak jahat ke kamu kan? Mama tiri kamu baik kan?"

Haoxiang mengangguk, memegang tangan Mamanya yang menangkup wajahnya. "Aku baik-baik aja, Ma. Mama tiri aku sangat baik, adik tiri aku juga."

Mama Huang memeluk Haoxiang sekali lagi, setelah itu dia menarik anak bungsunya yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya.

"Ziyin, ini Gege kamu. Yang kamu pengen temuin dari dulu."

"Gege!"

Haoxiang memeluk adik kecilnya itu erat, dia rindu sekali dengan Ziyin. 2 tahun tidak bertemu ternyata Ziyin sudah berubah banyak. Sekarang dia sudah lebih tinggi dari terakhir Haoxiang temui.

Gue hanya diam memandangi mereka dengan terharu. Melihat ketiganya saling memeluk erat, rasanya membuat gue ikutan sedih. Pasti sangat berat ketika kita dipisahkan oleh anak atau ibu kita sendiri selama bertahun-tahun.

"Yixia, kemari!"

Lamunan gue buyar saat Haoxiang memanggil gue, dia mengajak gue menghampiri mereka bertiga. Dengan menurut, gue ikut bergabung dan memberi salam kepada Mama Huang.

"Nihao, Ayi."

"Ini adik tiri kamu?" Tanya Mama Huang sambil menyunggingkan senyum ke gue.

"Iya, Ma. Namanya Yixia. Dia yang ngajak aku ke sini. Padahal aku gak tau acara Ziyin di sini." Balas Haoxiang yang masih menggendong adiknya.

Tanpa berkata-kata, Mama Huang memeluk gue. Membisikkan kata terima kasih berulang kali karena telah mempertemukannya lagi dengan Haoxiang.

"Sama-sama, Ayi." Balas gue sambil mengelus punggungnya lembut.

"Panggil Mama aja, kamu juga anak Mama."

Kalimat itu sukses membuat gue senang. Mama Huang mencium kening gue pelan, seperti yang dia lakukan ke Haoxiang sebelumnya.

Misi kedua, selesai.

•••



𝟏𝟒 𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠𝐬 𝐚𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐲𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐨𝐱𝐢𝐚𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang