KAGOSHIMA, JAPAN
Kagoshima Airport
Day 0, 09.15 AM"Ohayōgozaimasu—Selamat pagi!" Akhirnya, sapaan diberi setelah beberapa kali percobaan menelepon dilakukan.
Samar-samar ada vokal ramai yang bercuap bebas di seberang, membuat kedua alis seorang laki-laki berkerut heran. "Ohayōgozaimasu, kore wa daredesu ka—Ini siapa?" tanya yang ditelepon.
"Astaga..." Ternyata sebelah tangan tidak dianggurkan. Telapaknya menepuk dahi yang sedikit berminyak. "Ini Metawin, Nek. Bagaimana bisa Nenek lupa?"
". . ."
"Oh! Ya ya, Nenek ingat. Maaf tidak sempat melihat siapa yang menelfon."
Win terkekeh maklum, beban tubuh mengandalkan seutuhnya tiang besar penunjang konstruksi bandara. "Tidak masalah, Nek."
"Kau sudah sampai, Metawin?" Suara neneknya sudah melambai indra pendengaran, jelas. "Bukankah pesawatmu datang dari Tokyo masih setengah jam lagi?"
"Jadwal transit maju lebih awal dari perkiraan," Sekejap melirik jam tangan, lalu berkata, "sedang menunggu bagasi. Mungkin dua puluh menit lagi perjalanan ke rumah Nenek."
"Kau tidak usah buru-buru, Metawin."
Termasuk jarang ketika nenek Win berkata demikian, karena biasanya malah tidak sabar ingin bertemu. "Eh, ada apa?"
"Nenek masih membeli camilan untuk menyambutmu datang. Rumah Nenek kunci dari luar."
"Ya ampun tidak perlu repot-repot. Bisa kucari sendiri nanti."
"Sudahlah, ini kemauan Nenek. Kau tidak apa-apa menunggu di sana dulu, Metawin?"
Tidak bisa diganggu gugat, keputusan sudah dibuat. "Baiklah, Nenek kabari saja kalau sudah sampai di rumah. Aku langsung berangkat setelah itu."
Beberapa kata lagi dengan sang nenek kemudian telepon diputus oleh kedua pihak. Win menghela napas, kembali berdiri tegak.
'Pasrah' adalah kata yang tepat untuk mewakili perasaan Win Metawin saat ini. Selain tidak bisa duduk karena penuhnya bangku-bangku area pengambilan bagasi, nanti pun harus menunggu lagi sebelum bisa ke rumah neneknya.
Percayalah. Raga pemuda itu sudah meraung minta direbahkan setelah kurang lebih 7 jam dalam pesawat. Sekalinya tidur juga sambil duduk dan hanya ketika penerbangan dari Suvarnabhumi ke Haneda. Jadwal kepergian malam hari, baru sampai tujuan esok paginya. Belum juga waktu transit penerbangan ke Kagoshima yang 'untungnya' dipercepat 15 menit.
Jadi... tidak heran, ketika wajah Win seperti habis lembur mengerjakan sesuatu hingga larut malam. Berantakan.
Musim semi tiba di Jepang adalah satu dari banyak alasan mengapa bandara ramai pengunjung. Win pikir, hanya kebetulan. Tetapi ingatan segera melayang ke dalam laci penuh informasi.
Bunga sakura sedang mekar-mekarnya di bulan ini, yaitu April. Wajar saja netranya berkali-kali papasan dengan turis mancanegara, lengkap dengan banyak perlengkapan piknik. Ada pula di atas baggage carousel—milik maskapai lain—sebuah kursi lipat warna mencolok dengan ukuran lumayan besar. Entah orang itu mau bersantai saja di taman, atau malah berjemur di pantai.
Beda dengan para turis, kedatangan Win bukan untuk berlibur. Bisa dibilang, 'pulang ke rumah'—Kagoshima adalah kota kelahirannya. Sudah genap 2 tahun tidak kembali karena harus menuntaskan pendidikan kuliner di Paris. Adalah nostalgia, yang dirasa oleh Win setiap kali menghirup udara ketika baru datang. Tidak pernah lupa akan segala momen masa kecil, gembira sekali menikmati bunga warna merah muda jatuh dari pohonnya tiap tahun di musim semi.

KAMU SEDANG MEMBACA
SECRET HEAVEN OF KAGOSHIMA • brightwin ✔
FanfictionAsumsi Win di Kagoshima, hanya untuk nostalgia dengan sang nenek dan mengenang momen ketika dia lahir. Tidak disangka, justru bertemu fotografer Bright yang sedang berburu keindahan untuk projek fotonya. Sebuah petualangan telah menanti, begitu juga...