KAGOSHIMA, JAPAN
Shiroyama Park Observation Deck
Day 7, 06.55 PMTur keliling kota Kagoshima akan selesai di hari ini.
Agenda terakhir membawa si patissier muda dan fotografer ke sebuah dataran tinggi, dekat pusat kota. Bernama Taman Shiroyama, terletak di lereng Gunung Shiroyama. Terkenal karena signifikansi historisnya sebagai ajang pertempuran terakhir Pemberontakan Satsuma. Ketinggian 107 meter di atas permukaan laut, membuat banyak turis tertarik berkunjung.
Visual senantiasa dipenuhi oleh bentukan Kagoshima bersama objek-objek indah. Mulai dari kota itu sendiri, teluknya, dan tentu saja landmark istimewa—Gunung Sakurajima. Adalah lokasi prima membidik indah, sangat cocok dengan Bright dan kameranya.
Ini kedua kali Win dan Bright pergi di waktu menuju gelap. Pertama saat jadwal ketiga, Distrik Tenmonkan. Melihat kehidupan rakyat Kagoshima berlalu-lalang di malam hari dengan jarak bisa dibilang dekat. Saat ini, terbalik sudah. Menyaksikan sendiri dari kejauhan betapa hidupnya perkotaan di waktu yang sama.
Sang tour guide mengajak turisnya menikmati peristiwa matahari tenggelam, detik-detik akan terjadi sebentar lagi. Langit yang di awal berwarna biru jingga, saat ini punya gradasi merah muda. Perlahan menginjak redup, lajur waktu seakan melambat. Hawa sejuk bertiup ringan, menerbangkan helai-helai rambut dua pemuda—sedang di atas dek kayu taman.
"Aku punya satu fakta menarik," ujar Win, sunyi disapu olehnya. Fokus netra masih tertuju pada lanskap. Dua lengan bersandar di atas pagar pembatas.
CKREK!
Angkasa semerbak warna dipotret oleh si fotografer sebelum menyahut, "Apa?"
"Kau lihat bangunan itu?" Telunjuk Win mengarah ke bawah, "familiar?"
Bright mendekati pria rambut kecokelatan, sebelumnya berdiri depan pohon sakura. "Tidak asing di mataku. Kenapa?"
"Itu tempat yang pertama kali kita kunjungi dalam jadwal tur, Musium Reimeikan. Aku baru ingat kalau letaknya ada di kaki gunung ini. Secara tidak langsung, kita berada di atasnya sekarang."
"Konklusi..."
"Hm?"
"Tur ini berakhir di tempat awal semua bermula." Sudut bibir Bright naik sedikit. "What a perfect way to do that, Metawin."
Sang tour guide terkekeh mendengarnya, "Aku memulai tur dengan perkenalan agar kau tahu dulu asal-usul sejarah masa lampau Kagoshima. Kebetulan ini sudah di luar rencanaku."
"God's plan, I suppose," tanggap Bright, diucap tenang.
Win mengangguk setuju. "Indeed."
Menit demi menit berlalu. Senja perlahan turun di balik garis horizon. Corak warna bagai lukisan di langit malam terganti oleh banyak titik cerah ukuran kecil. Tidak lupa juga rembulan hadir menemani, bertukar tempat dengan sang surya.
Entah direncana atau tidak, lampu perkotaan menyala seolah bebarengan. Dari atas dek, cahaya itu seperti kunang-kunang yang muncul dari balik sarang persembunyian. Gunung Sakurajima masih terlihat gagah, bayang-bayang kontras sekali gelapnya dengan sisi Kagoshima—penuh gemilang dari banyak bangunan.
Tidak heran, jika Bright Vachirawit saat ini mengambil video hyperlapse agar bisa melihat perubahan suasana. Tepat di sebelah, sang tour guide ikut mengamati. Sesekali fokus pada layar kamera, dan juga si fotografer itu sendiri.
"Penerbanganmu besok..." Win menjeda, ketika Bright telah selesai dengan videonya, "pukul berapa?"
Sudah masuk waktu membicarakannya ya, Win?
"Sebelas pagi," balas si pemakai beanie, kamera dimasukkan tas. Sudah paham ke arah mana cakapan mereka setelah ini. "Dari penginapan mungkin—"
"Dua jam sebelumnya kalau mau terhindar kemacetan," Pemuda rambut kecokelatan melengkapi kalimat.
Bright mengangguk, "Sudah kuperkirakan."
"Baguslah."
"Ada apa? Kau mau mengantarku ke bandara?" Sebelah alis sang fotografer diangkat, lalu kedua mata menilik yang ditanya.
Tawa kecil sang tour guide muncul, "Jaga-jaga kalau nenek menyuruhku."
"Jika beliau tidak meminta," Bright terdiam sebentar, "dirimu sendiri bagaimana?"
"Kau tanggung jawabku. Sudah sepantasnya sebagai tour guide menemani turis, hingga tur benar-benar selesai."
Ya, aku ingin. Murni dari pribadiku.
"Win," Si fotografer memanggil, dia melihat sesuatu di atas kepala sosok di depan, "menunduklah sedikit."
"Huh?"
"Excuse me."
Angin-angin berhembus kencang, membuat pohon sakura di atas berguguran bunga. Salah satu tidak sengaja mendarat mulus tanpa diketahui oleh Win, tidak terasa. Padahal sudah sedari tadi, sejak video hyperlapse Bright dimulai, sampai akhir kamera ditutup. Si fotografer menyadarinya, barusan. Diambilah kelopak merah muda itu dari rambut sang tour guide.
Ruang layaknya mereka bersitatap dekat pertama kali di Sakurajima. Momen ketidaksengajaan kembali disapa, seakan mendukung rasa dalam hati mereka untuk segera diungkapkan. Unsur waktu enggan menunggu lebih lama lagi. Jarak akan segera tercipta di antara dua pemuda. Pilihan hanya dua, penuturan atau penyesalan. Sebelum semuanya terlambat.
"Bri," panggil Win, setelah kelopaknya berkedip lagi. Masih menatap satu sama lain, tidak menjauh satu inci pun. "Aku masih menunggu jawaban atas teka-tekimu."
"Aku juga masih ingin tahu, arti ucapanmu saat itu," Bright menanggapi dengan suara lembut. Satu tangan bergerak masuk ke dalam saku jaket, sebuah benda telah menunggu untuk diberikan sejak kemarin.
"How about we say it at the same time? Let's count to three together, in Japanese."
"That will do."
Debar hati semakin menjadi. "Ready?"
"Ready." Begitu pula afeksi beranjak nyata.
"Ichi."
"Ni."
"San."
"You're beautiful, like all the scenery you take."
"I see you, in every picture I took."
". . ."
"Our feelings would be more beautiful if combined together. Don't you think?"
"Fate already does it from the beginning, so no more ifs."
Tidak butuh terucap gamblang dengan kata mengandung cinta. Hanya perlu empat kalimat dan satu flashdisk berisi potret—sudah menjadi bukti bagaimana perasaan keduanya adalah sama. Dengan atau tanpa campur tangan takdir, jika memang sudah begitu jalannya, tidak akan ada yang bisa menghalangi.
Win dan Bright memulai semua dari nol, seperti baru menginjak telapak di kaki sebuah gunung. Lantas seiring berjalannya waktu, tanjakan demi tanjakan mereka lalui bersama. Semakin naik hingga saat ini berada di atas, sesuatu membuat mereka beristirahat sejenak sebelum menuju puncak. Jalinan rasa dua pemuda tidak akan usai sampai di Kagoshima. Segala mimpi di benak masing-masing bukan hambatan untuk melanjutkan apa yang sudah dimulai.
Sebab puncak sebenarnya, masih setia menunggu untuk dicapai keberadaannya.
.....
KAMU SEDANG MEMBACA
SECRET HEAVEN OF KAGOSHIMA • brightwin ✔
FanfictionAsumsi Win di Kagoshima, hanya untuk nostalgia dengan sang nenek dan mengenang momen ketika dia lahir. Tidak disangka, justru bertemu fotografer Bright yang sedang berburu keindahan untuk projek fotonya. Sebuah petualangan telah menanti, begitu juga...