34. Stone

3.6K 570 71
                                    

Alex menopang dagu, sebelah tangan ia gunakan untuk menggunakan mouse-nya. Lirikan netra biru pria itu sesekali mengarah jam, mengawasi sang waktu. Alex pun bersandar pada senderan kursi kantornya jengah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, melepaskan Bianca atau mempertahankan gadis itu. Ia mencintainya, tapi ia tidak boleh egois, tidak semua orang menerima orang sepertinya. Seperti yang ia ujikan, Bianca tidak menerima kejahatan. Namun yang jelas, Alex harus memberi tahu Bianca bahwa ia tidak melakukan apa pun.

Alex tersenyum samar, ia senang jika Bianca baik-baik saja, terdengar suara gadis itu cukup riang tadi. Alex mengambil benda pipih persegi dari atas meja, mencoba menghubungi Bianca lagi. Setidaknya ia sudah menunggu lebih dari satu jam, seperti yang gadis itu katakan, ia lelah dan akan meneleponnya lagi. Ya, Alex tahu jika itu ditujukan untuk Angela atau bahkan Bianca sedang berakting di depan seseorang agar terlihat baik-baik saja, tapi tetap saja Alex akan menghubungi Bianca lagi.

"Hello?"

Bulan sabit mengukir terukir di bibir Alex, mendengar suara lembut Bianca dari seberang sana. Setidaknya Alex bisa tenang bahwa Bianca tidak bunuh diri atau berlarut-larut dalam kesedihannya, gadis itu terlalu berharga untuk melakukan hal tersebut. "Hai Bianca," sapa Alex balik, terselip rasa bahagia karena gadis itu mau mengangkat panggilannya.

"Ada apa?"

"Aku harus menjelaskan sesuatu," ucap Alex. "Tapi dengarkan aku sampai selesai."

"Bicaralah."

Alex mengepalkan tangan lantaran mendengar suara Bianca yang bergetar di sebrang sana. Tidak. Ia tidak bisa menyelesaikan semua ini lewat telepon. "Katakan di mana alamatmu?"

"Cukup bicara sekarang."

Alex lagi-lagi membuang napas kasar. "Bianca, ini tidak bisa diselesaikan lewat telepon."

"Jangan datang. Aku tidak ingin melihatmu."

"Tapi-" Lagi-lagi Bianca memutus sambungan sepihak, membuat Alex semakin frustrasi.

*Flashback

"Sampai kapan kau mau bermain-main?" tanya Nick membuat Alex menoleh. Pria itu memasukkan sebelah tangan ke saku, menatap datar cucunya.

Alex melirik Bianca yang ada di dalam dekapannya. Ia pun perlahan-lahan melepaskan dan bangkit, berdiri menghadap kakeknya itu. "Aku tidak main-main. Aku mencintainya."

Nick tersenyum tipis, terlihat meremehkan seiring melirik gadis yang tengah tertidur di di bawah tenda romantis di depannya. "Omong kosong. Di umur segitu, bocah sepertimu terlalu naif. Itu bukan cinta."

"Ini cinta!" tegas Alex dengan nada sedikit meninggi.

Nick kembali menatap cucu di hadapannya dengan tenang. "Kau pikir begitu?" tanyanya mengangkat sebelah alis. "Setelah kau menidurinya, perasaan itu akan berakhir."

Alex menajamkan pandangan mulai terpancing emosi. "Aku bukan kau."

Nick merenggangkan otot lehernya, lalu melipat kedua tangan di depan dada. "Itu naluri seorang pria yang beranjak dewasa. Setelah mendapatkan hal yang mereka incar, perasaan itu berubah menjadi bosan."

"Perasaanku bukan seperti itu!"

"Lalu bagaimana dengannya? Apa dia tergila-gila padamu?" tanya Nick tenang. "And is she knows who you are?"

Alex mengerutkan dahi, tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Nick. "Who doesn't know Stone?"

Nick mengerutkan dahi, apa Alex melupakan siapa mereka? Nick menegaskan. "Did you forget who the real Stones are?" tanyanya menajam. "Your aunt, Valentine, beberapa tahun lalu mengalami pertengkaran hebat dengan Kerajaan Inggris karena menyembunyikan jati dirinya pada suaminya, Sang Pangeran Inggris. Inggris bahkan mengancam kami dan Valentine hampir bercerai dengan suaminya. Namun, demi melindungi martabat antar keluarga, kami bekerja sama. So, did you forget who the real Stones are?"

Innocent Prince [COMPLETE]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang