Part II - drama

35 1 0
                                        

Decitan sepatu mulai terdengar saat aku mendekati lapangan olahraga. Kakak kelas yang sudah menguasai lapangan basket langsung disuruh pak guru untuk menyingkir dari setengah lapangan basket.

"Guru kalian mana?"

"Sakit pak! Kami disuruh main bebas!" Ucap salah satu kakak kelas yang memiliki perawakan tinggi.

"Oh gitu. Kalau gitu. Kalian mau main bareng adek kelas nggak?"

"Mau dong pak!"

Aku tak tau apa yang harus aku lakukan kali ini. Aku tak memiliki nilai bagus untuk mata pelajaran olahraga.

"Saya pilih orang dulu," Pak Guru melihat buku jurnal kedatangan siswa. Aku merasakan jantungku berdetak seakan aku akan dipilih oleh pak guru. "Ariel, Griffin, Upik, Welson, David dateng nggak nih kok belom di centang?"

"David masuk pak!"

"Yang mana nih David?"

Aku mengacungkan tanganku supaya Pak Guru melihatku. Tubuhku yang tingginya melebihi guru ini tak mungkin tak diingatnya.

"Baiklah kamu main. Saya belum pernah liat kamu main."

"Tapi pak, nilai-"

"Dah sana main."

Seperti yang aku duga, pasti aku kepilih. Jika saja aku tak memikirkannya, tak mungkin aku di panggil untuk bermain basket. Menyebalkan sekali!

"XI IPA E!"

"XII IPA A!"

......

"Hah... hah... hah... hah..." aku sungguh kelelahan dengan permainan ini. Pelajaran kakak kelas dan kita sama sama dua jam. Pak Guru juga tak kunjung mengakhiri permainan. Sudah quarter ke-4. Tapi tak kunjung selesai. Poin kami dan kakak kelas sangat jauh. Kami masih 42, kakak kelas sudah 77. Banyak three point yang mereka lakukan. Aku lelah.

"Hey, adik kelas! Kau kelelahan?" Tanya kakak kelas berperawakan sangat tinggi. "Kau cukup lemah untuk ukuran tubuhmu."

"Haaaaaaah? Apa maksudmu? Hah... hah..." aku tak ingin bertengkar dalam kondisi tubuhku seperti ini dengan orang ini. Kakak kelas ini sangat terlihat sombong dan menyebalkan.

"Tinggimu kira kira 171 cm. Tapi tenagamu seperti anak kecil yang tingginya hanya 148," entah apa yang salah dalam otaknya itu. Ia terus terus an mengoceh seperti tak ada hari lain. Tinggiku ini melebihi rata rata anak SMA! Aku tidak lemah, hanya nggak suka olahraga.

"Aku tak peduli kau ingin bicara apa, aku anggap itu sebuah pujian karena adikku yang tingginya hanya 148 memiliki tenaga sebesar dirimu. Sekian!" Aku pergi menjauh darinya sebelum ia mengucapkan kata kata lagi.

Aku cukup kelelahan karena quarter keempat lebih menguras tenagaku.

Sepertinya aku menyalakan mesin kakak kelas yang tadi berbicara denganku. Ia terus-terusan memasukkan three point dari range yang berbeda beda. Hasil akhir adalah 53 dan 86. Mereka bermain bola dengan sangat baik.

"Kau terlihat sangat kelelahan, Dave."

"Aku tak suka olahraga. Aku tak pernah suka dengan olahraga," aku meneguk setengah botol minum yang aku bawa tadi. Ingin sekali aku tidur, tapi tak boleh. Aku bisa tak bangun lagi.

"Permainan kalian bagus, kecuali David. Kau butuh berolahraga terus."

"Huft.. baik pak!"

"Kalau gitu, kalian boleh bermain bebas. Setelah bel jam istirahat kedua berbunyi, langsung berganti pakaian lalu boleh istirahat!"

My upperclassman!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang