7. "Hukuman" katanya

0 0 0
                                    

Plak!

Saat Aulia mendorong pintu kepala sekolah, hal pertama yang di dapatnya adalah sebuah tamparan.

Suara tamparan itu begitu nyaring, menandakan bahwa si pelaku tidak tanggung-tanggung untuk mengeluarkan tenagannya.

Aulia menunduk, setelahnya tertawa sinis. Ia mengangkat wajah, memandang ke arah wanita paruh baya -yang menamparnya tadi- dengan santai.

Aulia berjalan memasuki ruangan kepala sekolah sambil memegangi pipinya yang memerah.

Ah, soal teman-temannya. Kenzie dan Fajar pamit untuk membayar makanan mereka dahulu. Zicho pamit untuk ke kamar mandi. Dan Rara yang masih mematung di ambang pintu karena melihat Aulia di tampar.

"Buk, tidak seharusnya ibu menggunakan kekerasan kepada murid kami, apalagi ibu menamparnya di depan saya. Saya kepala sekolahnya kalau ibu lupa, apapun yang terjadi di sekolah ini, itu tanggung jawab saya." kepala sekolah angkat suara, tidak terima salah satu muridnya di hakimi oleh orang tua murid.

Wanita paruh paya itu mendengkus tak suka. "Saya ke bablasan."

"Kalau begitu silahkan duduk di sofa yang tersedia." kepala sekolah berdiri dari bangku kebesarannya, ia berjalan menuju sofa yang tersedia.

Wanita paruh baya itu juga berjalan menuju sofa yang tersedia.

Sekarang posisinya, kepala sekolah duduk di sofa single, Aulia duduk di sofa panjang seorang diri, wanita paruh baya itu duduk bersama putrinya, yang tak lain adalah Rena. Posisi Aulia dan wanita paruh baya itu berhadapan.

Rara mengetuk pintu, tanpa izin ia langsung mengambil langkah dan mendudukkan diri di sebelah Aulia.

Kepala sekolah mengernyit, "kamu ngapain Rara?"

Rara mengerjapkan mata, tak memahami situasi, ia memandang ke arah Aulia meminta Aulia untuk angkat suara.

Aulia menghela napas, "Rara saksi pak." ujarnya berbohong.

Kepala sekolah manatap tak percaya, "bener?"

Aulia mengangguk.

Rena menggeleng, "enggak pak! Rara nggak ada pada saat kejadian."

"Mana yang bener ini?"

"Ya, anak sayalah pak, nggak mungkin anak saya bohong." ibunya Rena menyipitkan mata ke arah Rara.

Rara tersenyum lebar, baru mengingat siapa wanita yang berada di depannya ini. Ia melambaikan tangan, lalu sok menyapanya, "eh? Tante ternyata. Hai tante." Rara sok menghela nafas, ia menoleh ke kepala sekolah. "Gimana kalau saya nelepon kakak saya aja, biar urusannya cepat selesai?"

Seketika wajah ibunya Rena pias. Ia berdiri, memandang sengit ke arah Aulia yang tampak santai-santai saja dari tadi. Seolah menantang, Aulia juga mengangkat tangan, ia melambai-lambaikan tangannya, seperti sedang menyapa.

"Oh, ya, tante, perkenalin, saya Raynaya Aulia, anak kedua dari pemilik perusahaan C group." Aulia tersenyum manis, "tante pasti tau C group soalnya tante kan--"

"Saya tidak mau tau pokoknya anak ini harus di hukum!" ia bicara tergesa-gesa sekali... "Saya pamit!" ia menarik tangan putrinya untuk meninggalkan ruangan kepala sekolah.

Rara dan Aulia tergelak.

Kepala sekolah mengerutkan kening, "ibunya Rena tadi kenapa?" tanyanya tak mengerti.
"Em... Enggak papa sih pak." Aulia bicara ditengah gelak tawanya. Sedangkan Rara masih tertawa sambil menghapus air matanya yg keluar.

"Karena alasan kalian tidak jelas, dan ibunya Rena ngotot ingin kamu di hukum, kamu bapak hukum untuk mau mengikuti lomba olimpiade sains bulan depan."

Tawa mereka berhenti, terutama Aulia yang sudah memasang wajah muram. "Enggak pak, saya nggak mau!" tolaknya mentah-mentah.

"Kamu harus mau karena itu hukuman buat kamu." kepala sekolah menjeda. "Nak, kamu perempuan loh, masa kamu bisa ringan tangan gitu mukulin kakak kelas kamu sampe wajahnya lebam gitu. Bapak juga punya anak perempuam, tapi tidak ada dari mereka yang mau bertindak anarkis seperti kamu, mereka bapak ajarkan untuk menjadi gadis yang anggun, tidak seperti kamu yang petakil--"

Kringg!!!

Suara bel masuk menghentikan perkataan kepala sekolah. Aulia menarik tangan Rara, keduanya berlari meninggalkan ruangan kepala sekolah.

Sedangkan kepala sekolah hanya bisa pasrah. Ia mengusap wajah, dilanda frustasi. Kalau saja Aulia itu bukan anak ketua yayasan... Ia pasti sudah memberi hukuman teberat, bahkan men DO nya akibat kelakuan yang selama ini dirinya perbuat.

***

Saat keluar dari ruangan kepala sekolah, mereka di kagetkan oleh kehadiran tiga lelaki tampan yang tengah menatap mereka lamat-lamat.

"Ngejutin aja sih!" sentak Rara kesal.

"Di apain sama kepala sekolah?" Kenzie buka suara lebih dulu.

Rara tiba-tiba ngakak. Ia menunjuk Aulia yang sudah dongkol setengah mati. "HAHAHAHAHA!!" suara tawa Rara menggelegar. "Dia-- dia di suruh ikutin olimpiade sains, HAHAHA." sungguh, Rara tidak bisa berhenti untuk tertawa sekarang.

Fajar juga ikut tertawa, Kenzie terlihat bingung, sedangkan Zicho malah sumringah.

Gimana ya, Aulia itu sebenarnya pinter, cepet tangkap juga. Cuma, karena kelakuan minesnya yang udah nggak bisa di tolerir lagi, kepinterannya jadi tertutupi di mata orang-orang.

"Seriusan kamu mau ikuti olimpiade sains?" tanya Zicho sumringah.

"Kepaksa kak, kepaksa," koreksi Aulia.

"Iya lah, semacam itu."

Rara sudah tak tertarik lagi untuk tertawa, ia malah kepo kenapa Zicho keliatan sumringah gitu. "Kenapa emang kak?"

Zicho menaikkan kedua alis tinggi, "oh, saya juga ikut olimpiade sains." ia menatap Aulia, "kita bareng yuk perginya? Nanti kamu saya jemput."

Aulia menggeleng tidak setuju, "saya mau pergi sendiri kak," ia menjeda kalimat, "tapi nanti pas udah sampai sana saya hubungi kakak, biar kita bareng di sana."

Zicho mengangguk setuju, "oke."

Fajar melihat ke arah sebelahnya saat merasakan aura tidak enak. Kenzie sedang mengontrol emosi ternyata.

"Gue mau ikut." setelah dari tadi tak bersuara, akhirnya Kenzie bersuara juga.

Semua melihat ke arah Kenzie. Selain Fajar, yang ada dalam pikiran mereka adalah, 'tumben nih anak mau ribet.'

"Boleh, nanti keruang osis dulu ya, untuk melakukan pendaftaran."

Kenzie hanya berdehem.

"Kalian mau sampai kapan ngerumpi di depan ruangan saya? Nggak denger udah bel?" kepala sekolah yang nemplok di dinding menegur mereka, membuat mereka bubar untuk ke kelas masing-masing. "Dasar, murid jaman now."

***

"Lo mau ngapain makanya nempelin gue mulu?" Aulia bertanya kesal. Setelah bel pulang sekolah tadi, Rara tak pernah benhenti untuk menempelinya, seperti perangko.

Sekarang mereka sedang dalam perjalanan untuk menuju gedung sebelah, tepatnya, tempat dimana ruangan penting, seperti Aula, ruangan kepala sekolah, ruangan guru, dan lainnya.

Rara nyengir, ia melompat maju kehadapan Aulia, "gue mau nebeng dong, abang gue lagi keluar kota, jadi nggak ada yang jemput."

Aulia menghela nafas, "rumah kita lawan arah, Ra."

"Ih! Gue yang bayar minyaknya deh, serius!" Rara mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya.

Aulia mengangguk senang, "hm, oke." lumayan duit yang di kasih untuk minyak mobilnya bisa ia sisihkan untuk membeli mainan agar sang ponakan senang, dan senantiasa tersenyum.

Aulia bersenandung pelan tidak memerdulikan Rara yang sejak tadi menggerutu.

***

ZIELIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang