14. Talk Talk

17 2 51
                                    

Quest Type C

Quest 14 : Lanjutkan quest yang kemarin. Pemberian nama bab terserah dan jangan lupa ketentuan yang berlaku.

***

Laki-laki itu terlihat lembut. Ia berkata, "Oh, hai ... anu ... Viu."

Perhatiannya teralih pada tangan Algasta yang diperban. Tidak aneh dia mengetahui namanya. Ia terlihat pendiam. Pasti dia pengamat, tidak jauh berbeda dengan dirinya.

Sesaat semua baik-baik saja. Sampai gadis aneh itu menodongkan pisau pada Algasta. Ia kemudian berkata, "Aku tidak suka melakukan ini. Maka jujurlah padaku, siapa yang mengirim surat konyol itu?"

Laki-laki dengan perban itu terlihat terkejut. "Bu-bukan aku."

Silviu tahu, selanjutnya adalah gilirannya. Dia mundur satu langkah ke belakang. "Lebih baik aku belajar memasak."

Sekarang belati itu akan mengarah kepada perempuan yang ditolong Cadassi. Namanya Zavas, Zayen, atau Zoya? Ia lupa. Si Zoya itu terlihat membuat gestur agar Olita menurunkan belatinya.

"Tenanglah Olita."

Silviu ingin tertawa, bagaimana bisa gadis aneh itu akan menurut? Namun, Olita justru memasukkan lagi belatinya ke dalam sarung---seakan menurut padanya. Mungkin mereka bertiga tidak tahu, tetapi elf itu tahu. Dia bukan menuruti perkataan Zoya, tetapi perkataan sesuatu yang tidak terlihat. Kalau untuk makhluknya, barulah Silviu tidak tahu.

Silviu tidak begitu memperhatikan gadis aneh itu lagi, sampai suara bocah laki-laki itu menginterupsi. "Lebih baik perkenalkan diri kalian. Aku Bullet."

Elf itu dengan cepat menyambar, "Silviu."

Disusul oleh Algasta, kemudian Olita, dan yang terakhir.

Zoy---

"Zeya."

Ah ... Silviu salah tebak. Namanya Zeya, bukan Zoya.

"A-ayo kita diskusikan ...." Seperti tadi, Algasta berbicara dengan nada yang pelan.

"Katakan saja, Alga. Jangan ragu."

Algasta tampak menarik napas, dan membuatnya perlahan untuk menetralisir rasa gugupnya. "Ayo ... kita diskusikan ... emm, maksudku ... kita pikirkan siapa yang mengirim surat itu?"

Silviu tidak ingin mendengarkan mereka. Ia merespons secukupnya. Walaupun terkadang ingin melempar Bullet ke jurang karena kata-katanya yang di luar akal.

***

Silviu mendengar Olita mencak-mencak kembali. Ia bilang, seharusnya mereka membuat tenda, apa segala macam. Silviu pusing mendengarnya.

"Aku akan berburu." Silviu bangkit. "Bullet, ikut denganku.

"Siap, Bang!"

Dia berjalan lebih dulu, disusul oleh Bullet. Silviu melirik Bullet yang sedang melihat sekitar.

"Kau ingin apa?"

"Belalang tempur yang warna merah atau ... atau burung endemik!"

Silviu menarik napas. "Di mana ada hal seperti itu? Burung endemik itu beracun."

"Aku tidak tahu. Aku ingin berburu itu karena aroma khas yang menusuk hingga jiwa dan raga, rasa yang tak pernah terbayang oleh manusia. Mereka bergerak di dalam lidah hancur satu persatu. Kamu harus coba. "

Silviu sedikit terpaksa menganggukan kepalanya untuk membantu. Ia memaklumi karena Bullet masih kecil. Kelakuannya mirip Cadassi bocah. Namun, Cadassi tidak aneh seperti ini dan tentunya Cadassi sangat sadar kalau dia seorang elf.  "Aku akan membantumu, tetapi setelah itu kita akan berburu kelinci."

"Kenapa?"

"Kelinci lebih lazim."

Elf itu membiarkan Bullet mencari mangsanya sendiri, sedangkan ia berfokus ke sekitarnya. Barangkali ada kelinci yang lewat.

Setelah berjalan beberapa lama di hutan, semakin lama hutan itu semakin lebat. Silviu tidak berpikir untuk memegang tangan Bullet, karena ia kira bocah manusia itu setidaknya bisa menalar kalau hutan itu berbahaya, maka dia harus mengikuti Silviu.

"Bullet," bisik Silviu karena sudah menemukan tiga ekor kelinci sekaligus. Ia tidak mendengar jawaban, mengabaikan Bullet, ia kemudian mengambil tiga anak panah dan melepaskan ketiganya sekaligus.

Kelinci itu terkapar. Silviu tadinya ingin memberi perintah kepada Bullet, tetapi alangkah terkejutnya dia saat melihat bocah lelaki itu tidak ada di tempatnya. Ia mungkin terlalu fokus pada sekitarnya sehingga tidak sadar kalau Bullet sudah menghilang dari tempatnya.

Mendesahkan napas gusar. Walaupun dia tidak begitu menyukai Bullet, tetapi Bullet juga sebuah nyawa. Setidaknya, dia harus melindungi nyawa Bullet.

Silviu kemudian tersadar. Bullet tidak mungkin berlari terlalu jauh. Dia pasti masih ada di dalam hutan ini. Silviu mengerahkan energi spiritualnya, melacak keberadaan Bullet.

"Ketemu."

Sebelum pergi, ia mengambil tiga mayat kelinci itu. Kemudian membawanya sambil menuju titik koordinat Bullet.

Saat sudah dekat dengan lokasi Bullet, Silviu justru mendengar tangisan monyet bekantan. Tunggu, jangan-jangan Bullet diserang oleh sekumpulan monyet!

Memikirkan yang macam-macam, Silviu berlari agar lebih cepat sampai ke asal suara. Ia ingin tertawa. Namun, tidak cocok bila melihat anak kecil tersesat kemudian tertawa.

Silviu mendekati Bullet. Ia menepuk-nepuk pundak bocah itu. Berharap bisa menenangkannya dari tangisan.

"Silbiu, aku tersesat."

Baiklah. Dia tersesat, tetapi berhasil membunuh burung endemik dan lima ekor kelinci liar.

Singkat cerita, mereka kembali lagi ke tempat perkumpulan tadi.

"Aku bawa burung endemik!" Bullet berseru ceria.

Silviu tersenyum kecil di belakang, melihat berbagai macam ekspresi yang ditujukan pada Bullet.

"Selamat memanggang!"

Setelahnya, kami fokus untuk memanggang bagian masing-masing. Khusus untuk Bullet, dia panen daging hari ini.

Sedangkan Silviu masih mencoba mencampurkan rempahnya. Kali ini dia tidak menambahkan garam terlalu banyak, kemudian menambahkan sesuatu bertuliskan lada.

Tidak buruk. Rasanya lumayan!

Jumlah kata: 750
wga_academy
Nichole_A

Golden ForestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang