Juan menginjak lantai rumahnya sekitar jam 4 lewat 10. Sedikit telat, tapi tidak apa-apa karena matahari belum muncul. Kedatangannya disambut oleh sunyi dan gelap. Pria itu lantas menyimpan tasnya begitu saja di sebelah rak sepatu. Dan dia bergegas ke dapur. Perutnya sudah benar-benar kosong sekarang.
Sementara Kala, baru saja bangun karena mengalami mimpi buruk. Dia tidak ingat apa pun kecuali nilai rapornya yang turun drastis, suara erangan kesakitan sang kakak, dan papanya yang murka. Hal itu membuatnya tidak bisa tidur lagi. Dia segera turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.
Setelah mandi, Kala berdiam diri di kamar. Membuka materi yang semalam sudah dia catat. Tapi, otaknya tidak mau fokus. Mimpi itu masih menghantui pikirannya, cekikan papanya sangat terasa. Apa mungkin dia mencekik diri sendiri sekuat itu?
Obsidian legamnya bergulir kesana kemari. Kakinya memutar kursi putar yang dia duduki. Memperhatikan setiap sudut kamarnya. Jendela sudah terbuka lebar, menampakan langit gelap dengan sinar bulan yang terang. Kasurnya sudah rapi lagi. Nampan bekas makannya semalam masih ada di sana. Teronggok di atas nakas. Dia langsung menyambar benda tersebut, lalu menuju dapur.
Ah, dia belum sempat mengucap terima kasih pada Juan.
"Eh, Adek," sapa Juan yang sedang masak mie instan. "Abis mandi, ya?" tanyanya saat melihat rambut Kala masih basah.
Kala mengangguk. "Iya," jawabnya singkat. Gadis itu segera mencuci peralatan makannya semalam. "Makasih, ya, Kak. Buat yang semalem," katanya lagi sambil mengelap tangan basah dengan handuk tangan yang menggantung di sebelah wastafle.
"Sama-sama." Si kakak tersenyum sambil menggigit garpu yang dia pegang. "Aduh, panas."
Juan terlalu senang sampai tidak sadar kalau garpu itu baru saja dia pakai untuk mengaduk mie dalam panci. Rasa-rasanya ini baru pertama kali Kala mau berbicara sedikit banyak. Biasanya cuma dua-tiga patah kata yang keluar dari bibirnya, selebihnya dijawab gelengan atau anggukan. Juan melirik Kala yang sekarang sedang menuang susu ke dalam gelas. "Mau mie juga nggak, Dek?"
Kala menoleh, memandang Juan sejenak sebelum memperhatikan sekitarnya. Tahu apa yang ada di dalam kepala adiknya, Juan menyahut, "Enggak usah takut. Mama sama Papa belom bangun kalo jam segini. Kakak bikinin mau? Nanti kamu makan aja di kamar."
Juan tahu, Kala paling takut kalau berhadapan dengan kedua orang tuanya. Mereka juga sangat membatasi interaksi antara Juan dan Kala. Aneh, tapi memang begitu adanya.
"Enggak usah, Kak. Makasih."
"Gak apa-apa. Atau ini makan aja dulu punya kakak, nanti kakak bikin lagi." Juan menyaring mie yang sudah matang itu, kemudian menuangnya ke dalam mangkuk. "Tapi, kakak bikinnya mie goreng," tambahnya sambil mengaduk makanan instant favorit sejuta umat itu.
"Beneran?"
"Iya, bener. Mau tambah telor nggak? Udah kakak goreng, nih." Juan menyerok telur yang ada di dalam wajan, lalu meletakan telur itu di atas mie tanpa menunggu jawaban dari Kala. "Udah. Selamat makan!"
"Makasih, ya, Kak. Aku langsung ke kamar, mau sambil belajar. Lagi ujian soalnya."
"Akhir semester, ya?" tanya Juan sambil memberikan mie instan buatannya pada Kala. Kala mengangguk sebagai jawaban.
"Semangat, Dek!" ucap Juan. Kedua tangannya dia kepalkan di depan dada. Kala hanya tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan Juan sendiri di dapur. Sementara Juan menatap punggung Kala yang hilang di balik tembok dengan senyum yang lebar.
Interaksi kecil itu membuatnya senang bukan main.
♠♠♠♠
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Matahari Terbit
Fiksi Umum[An orific, with Jung Jaehyun as a face claim] "Nangisnya jangan lama-lama, ya. Nanti napasnya susah, lho." "Aku harus gimana lagi, Kak?" Secuil kisah tentang kakak beradik. Si Sulung yang berusaha menjadi kakak terbaik dan si Bungsu yang berusaha m...