9. Uluran Tangan?

4.4K 1.2K 1.1K
                                    

WARNING!

Cerita ini mengandung unsur semacam kekerasan, omongan kasar, dan beberapa hal buruk yang tidak pantas ditiru.

Semua tokoh, ras, agama, latar, hanya fiktif belakang.

Ambil sisi baiknya dan buang sisi buruknya.

Selamat membaca!!  

 

“Apa yang kamu lakuin saat ini, ibarat menabur benih, jangan sesalkan pohon yang tumbuh dengan hasil apapun nantinya.”

-Atlas-


🌱🌱🌱

Althaf menoleh, menatap lekat kedua bola mata kembarannya. "Gue, gak peduli sama apa yang lu alami, dan bagus. Bagus kalo lu sadar diri, lu udah nyusahin orang, jadi gak usah makin nyusahin dengan semua keluh kesah lu itu."

Ucapan Althaf kali ini benar-benar membuat akhir dari perjuangan Alfan yang ingin kembali akur seperti dulu, selesai. Alfan selesai dengan misinya, dia sudah tidak percaya lagi jika nantinya, ada hal bahagia yang akan hadir dalam hidupnya dan Althaf.

Menyusahkan. Kalimat yang akan Alfan ingat, kalimat yang terlontar dari bibir kembarannya sendiri, dia sadar diri untuk saat ini dan selamanya.

Tanpa menjawab apapun, Alfan memilih melangkah pergi menuju Masjid, dia tidak ingin terlambat salat hanya karena berdebat dengan Althaf. Meski sejujurnya, hatinya begitu sakit, dia akan mencoba untuk menjadi kuat sekali lagi dan menuruti keinginan Althaf. Lawan semua orang yang membully.

Althaf juga sama, dia memilih untuk melangkah masuk, tapi niatnya diurungkan saat melihat sang Papa yang berdiri tidak jauh darinya. Menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, tapi Althaf paham, jika Papanya sudah memberi tatapan yang sulit dibaca, tandanya ada rasa kecewa, marah, yang bercampur menjadi satu.

“Papah gak pernah mengajari kamu untuk menyakiti kembaranmu, baik itu lewat fisik ataupun mental, sejak kecil, Papah memberi kasih sayang yang sama pada kalian.” Atlas menghela napas pelan. “Kata-kata kamu tadi, benar-benar buat Papah kesulitan, Alfan hanya ingin kembali akur sama kamu, apa itu salah?”

“Ngomong kaya tadi ke dia, juga apa itu salah? Bukannya bener ya? Jadi orang harus sadar diri supaya gak nyusahin orang lain. Hidup di dunia gak mudah, apalagi kadang, semesta gak adil ke semua orang,” balas Althaf santai tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Atlas merasakan bagaimana emosi yang tengah dikelola putranya. Atlas paham, jika sebenarnya, Althaf memiliki rasa sayang pada kembarannya, tapi semua itu tertimbun oleh ego yang sangat tinggi. “Althaf, Apa yang kamu lakuin saat ini, ibarat menabur benih, jangan sesalkan pohon yang tumbuh dengan hasil apapun nantinya. Papah rasa ini cukup, turunkan egomu dan berdamai dengan masa lalu. Kamu gak akan bisa hidup dengan keadaan seperti ini terus, Thaf.”

“Apapun hasilnya, gue yang nanggung, jadi gak usah mikirin hidup gue.”

“Kapan kamu akan sadar? Nunggu Papah meninggal? Atau nunggu Mamah meninggal? Kapan kamu akan berubah?!”

Althaf diam, dia memutus kontak mata dengan sang Papah, baru kali ini dia mendengar nada tinggi Papahnya.

“Sadar Althaf! Selama ini Papah berusaha buat sabar hadapi kamu, tapi makin ke sini kelakuan kamu, buat Papah gak bisa sabar lagi.” Jeda sekian detik. “Apa ilmu yang kamu dapat dari Pesantren? Papah rasa gak ada.”

TrigonometriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang