20. Mengukir Senyum

4.3K 1.2K 594
                                    

WARNING!

 

Cerita ini mengandung unsur semacam kekerasan, omongan kasar, dan beberapa hal buruk yang tidak pantas ditiru.

Semua tokoh, ras, agama, latar, hanya fiktif belakang.

Ambil sisi baiknya dan buang sisi buruknya.

Selamat membaca!!   

 

 

 




“Menghargai keberadaan seseorang itu ternyata sangat penting karena saat kita kehilangan, penyesalan akan terus hadir hingga akhir.”

-Althaf-

Dalam cerita ‘Trigonometri’ karya Nadia Pratama 








 

 

 

Alfan menatap keranjang belanjaannya yang begitu penuh dengan berbagai macam camilan, dia beralih menatap Althaf yang kembali mengambil camilan keripik singkong kesukaan mereka. Sepulang dari kejadian beberapa jam lalu, mereka pulang menggunkan angkutan umum dan mampir ke mini market dekat rumah, Althaf yang mengajaknya untuk belanja camilan.

“Bang, udah cukup jajannya. Nanti Mamah ceramah kalo kita kebanyakan makan makanan kayak gini,” ucap Alfan sambil mengekor kembarannya itu.

Althaf mengibaskan satu tangannya. “Udah gak apa-apa, lagian baru kali ini kita bisa belanja kayak gini lagi.”

“Abang gak takut kena marah Mamah?”

Althaf menghela napas, mereka berhenti di depan kulkas, mata Althaf mengabsen beberapa merek susu kotak yang ada di dalamnya. “Mau cosplay kalo Mamah marah kayak apa?” tanyanya sambil menengok sejenak ke arah kembarannya itu.

Alfan menahan senyum. “Coba kalo berani.”

Althaf berdehem sebelum benar-benar menghadap ke arah Alfan, cowok itu mengatur mimik wajah setenang mungkin, kedua tangannya dia letakan di kedua sisi pinggang dan menyorot penuh wajah kembarannya.

“Alfan, kamu itu gak boleh makan makanan yang banyak micinnya, nanti kamu batuk. Bukannya Mamah larang kamu jajan, tapi hal yang berlebih itu gak baik nak,” ucapnya lembut. Perisis seperti Hafsah saat memberi pengertian pada anak-anaknya. Alfan tertawa, kembarannya itu sukses meniru sikap Mamanya saat ini.

TrigonometriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang