07. Topeng yang Sempurna (2)

44 8 0
                                    

Di tengah kehingar-bingaran suatu kota, berjalanlah seorang pemuda dengan seragam acak-acakan memasuki gang yang cukup sempit. Ia terhenti pada salah satu rumah yang tidaklah besar tidak pula terlalu kecil, setidaknya cukup untuk menampung 2 manusia di dalamnya. "Ibu, aku pulang", pemuda itu menghampiri sosok wanita paruh baya yang tengah berbaring lemas pada kasur berbahan kapuk.

"Bagaimana keadaan ibu? Aku membawa obat", Bara mengeluarkan berbagai jenis obat yang telah dibelinya, tak lupa membaca satu per satu keterangan pemakaian.

Keheningan mulai terpecah ketika suara sang ibu mengalun dengan lembut, "ibu baik-baik saja. Kenapa tidak mengambil uang ibu yang ada di laci?", membelai rambut hitam sang anak.

Pertanyaan yang dilontarkan sang Ibu tidak menerima jawaban yang berarti, melainkan hanya penyerahan obat yang harus wanita itu minum, "Aku sudah bekerja, untuk apa aku mengambil uang itu. Simpan saja untuk modal berjualan nanti"

"Tapi tidak perlu sampai membolos kan? Kau sudah di tingkat akhir Bara, belajarlah yang rajin."

"Aku tetap belajar, bu. Tidak perlu khawatir. Sekarang makan dulu", ia pun menyuapi wanita yang telah menjadi malaikat pelindungnya itu dengan telaten, kasih sayang pemuda itu kepada sang ibu sangat besar, terbukti dari tutur kata dan sikap yang ditunjukkanya.

Setelah kegiatannya dengan sang ibu selesai, Bara segera membersihkan diri, kemudian ia membaringkan tubuhnya pada kasur usang dan tidak empuk, namun masihlah berfungsi baik setidaknya untuk alas tidur. 

Sungguh, tubuhnya sangat lelah saat ini, setelah kehilangan pekerjaan terakhirnya di cafe beberapa hari lalu, Bara harus mencari pekerjaan baru dan hasilnya, dia mendapat pekerjaan di area proyek pusat kota sebagai tukang angkut bahan bangunan, pekerjaan yang cukup berat dibanding sebelum-sebelumnya, dan tubuhnya masih belum bisa beradaptasi.

Bara hanya diam menatap langit-langit kamarnya, seberat apapun hal yang telah pemuda itu alami, ia tidak pernah sekalipun mengeluh. Ada satu hal yang mungkin menggangu pikirannya saat ini, kejadian ketika pulang dari tempat kerjanya, ia bertemu dengan salah satu teman dekat sekolah.

"WOYY BARAA" teriak pemuda berambut pirang sepundak berlari menghampirinya, "Bolos lagi?"

"Buta kau?", malas sekali dia menjawab pertanyaan basa-basi dari pemuda itu.

"Santai dong big bro. Sensi sekali kau ini. Nanti malam ada balapan, kau ikut tidak? Hari ini taruhannya 10 juta hupa loh"

"Pass", balas Bara sambil menolak sekotak rokok yang ditawarkan temannya itu.

Tampaknya jawaban Bara sedikit mengejutkan temannya itu, karena nominal yang dipertaruhkan saat ini sangatlah besar, "kau yakin, Bar? 10 juta hupa loh, 10 juta hupa"

"Ibuku sedang sakit"

"Bukankah itu kesempatan bagus? artinya kau memang sedang membutuhkan banyak uang" balas pemuda itu, sekarang mereka tengah berbicara di gang kecil diantara gedung-gedung kaca yang berdiri kokoh, mereka tidak boleh terlalu terlihat karena teman bodohnya ini tengah menikmati sebatang tembakau pahit yang terapit apik diantara jari-jarinya sambil memakai seragam sekolah mereka.

Bara melirik pemuda yang tengah berjongkok itu, "bagaimana denganmu Leo? Memang kau bisa kabur dari kungkungan ayahmu?"

Pemuda bernama Leo itu pun terkekeh, "kau meragukan skill kaburku ternyata", ia membuang sebatang rokok  dan menginjaknya, "Jika kau berubah pikiran temui aku ditempat biasa, aku yakin kau pasti memenangkannya"

Bara mengacak frustasi rambutnya dan segera menutupi kedua mata dengan lengan kanannya merasa bimbang. Letak permasalahan ini bukan pada meninggalkan ibunya seorang diri, melainkan janji yang telah ia ucapkan kepada sang ibu yang kala itu menangis, memohon kepadanya untuk berhenti mengikuti balapan liar yang sialnya selalu berhasil ia menangkan. Ibunya sanggat mengkhawairkan keselamatannya. 

SIRIUS | TXTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang