Satu - Sebuah arti nama

118 4 0
                                    

"Jingga Fatamorgana!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Jingga Fatamorgana!"

Ucapan itu menelisik masuk ke gendang telingaku. Saat itu rasanya aku ingin pergi dari tempat itu. Namun, langkahku benar-benar terkunci. Tak bisa bergerak sedikitpun. Entah karena apa.

"Kalian mau apa?" ujarku gugup. Aku benar-benar ketakutan menatap mereka yang kini seolah melihatku dengan tatapan bersmirk sinis. Tiga anak seumuran diriku kini menghadang langkahku.

Pakaian seragam sekolah dasar kini terlihat jelas melekat pada ketiga raga anak laki-laki itu. Diriku tak bisa apapun lagi, tak ada sesuatu yang memang bisa menjadi penolong.

"Buka deh tasnya! Pelit banget tadi minta dicontekin PR! Buat dia jera buang buku-bukunya." Dia memerintahkan kepada kedua temannya.

"Jangan!" teriakku dengan nada penuh amarah dan tangis. Histeris. Ketiga anak itu membuang barang-barang yang ada di dalam tas milikku.

"Obat apa nih?" ujar salah satu anak itu terkekeh.

"Dia penyakitan bro ternyata," balas temannya lagi dengan smirk merendahkan. Mereka tertawa, menganggap hal itu adalah sebuah lelucon. Aku menangis tersedu-sedu.

"TOLONG JANGAN!" ucapku terisak. Salah satu dari mereka mendorongku hingga aku jatuh terjerembab. Mereka berjongkok di hadapanku.

"Makanya, kalo nggak mau kayak gini, kamu jangan sok pinter di kelas!" jelasnya ke arahku penuh kekesalan. Menatapku tajam seolah tak menyukaiku. Dia tertawa melihatku yang menangis ini. Sebelumnya juga, bukan aku yang sok pintar di kelas. Tapi aku hanya ingin membuat ibuku bangga. Menjadi seorang anak yang berprestasi.

"Nih! Obat kamu udah aku buang! Hahahaha!" ujarnya seraya membuang obat itu ke sembarang tempat. Mereka bertiga semakin tertawa ketika aku menahan isak. Liquid bening semakin membanjiri wajahku.

Aku merasa tak berguna. Ya, aku memang orang yang berpenyakitan. Kardiomiopati atau lemah jantung ini sudah merenggut ku dari awal aku kecil. Menjadi seseorang yang selalu bergantung pada obat-obatan ketika penyakit itu kambuh.

Aku mendongak ke arah langit-langit yang terlihat mendung. Tatapanku mengarah ke seorang anak sebayaku, manik matanya terlihat serius menatap wajahku. Dia tampak memegang bola basketnya.

"Kamu kenapa? Ada yang nakal ya sama kamu?" ujarnya lalu berjongkok di hadapanku. Dia tampak melihat tanganku yang sedikit memar. Ya, karena perlawananku tadi. Manik mata anak itu mengamati dengan lekat tanganku. Lalu mengelusnya hati-hati seraya tersenyum.

"Kamu jangan sedih ya, ini pasti sembuh...." Dia meniup tanganku yang memar. Seolah-olah hal itu bisa menetralisir rasa sakit itu. Dia mendongak, manik mata kami menyatu. Dia tersenyum ke arahku.

"Ma-makasih." Aku hanya mampu mengucapkan itu. Anak seumuranku itu tersenyum lalu memberikan satu permen koin untukku. Aku terdiam kelu menatap itu. Menerima pemberiannya lalu tersenyum tipis.

HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang