Lima - Senja di Pantai Menganti

36 3 0
                                    

"Mari duduk sama – sama di sini!" ucap anak laki – laki yang menjadi sahabatku itu. Harsa mengajakku ke sebuah pantai yang dekat dengan rumah kami. Seperti biasa dilakukan setiap seminggu sekali tentunya di hari minggu. Menaiki sepeda yang ia punya. Sementara aku seperti biasa membonceng anak itu.

Aku menylampirkan tas ranselku di pundak. Sesampai di sana Harsa menempatkan sepedanya pada sebuah pohon kelapa. Angin laut mulai menerpa kulit dan rambut kami. Menjadikannya bergoyang kesana – kemari. Nyiur hijau pun sama – sama merasa diterpa angin laut bak manusia yang tengah menari.

Manik mataku mulai menikam sebuah sagara yang mendeburkan ombaknya. Rasanya hatiku teramat sejuk melihatnya. Di bawah matahari yang tak terlalu memanaskan cahayanya. Kini aku dan Harsa duduk di bawah pohon kelapa. Tepatnya di pohon kelapa yang sudah dirobohkan dan rapuh.

Tak pernah terlupa dengan apa yang selalu anak laki – laki itu bawa. Aku tersenyum dengan gigi yang ku ringiskan juga. Terkekeh melihat sahabatku yang teramat lucu ini.

"Kamu enggak pernah lupa?" ujarku membuat Harsa menggelengkan kepalanya.

"Aku tahu kamu suka sedih, jadi ini permennya, permen cokelatmu itu pasti sudah habis, kan? Aku harap, permennya tidak pernah kamu habiskan, Jingga. Meskipun hanya satu dari lima ini. Biar kamu cepet sembuh."

Aku terkekeh lalu menganggukkan kepalaku. "Aku nggak akan pernah habiskan permennya. Tapi kalau aku nggak lupa ya, Sa." Harsa mendecakkan bibirnya.

"Kalau begitu kembalikan saja jangan makan permennya." Ucapannya itu membuatku menggeleng lalu tertawa. Harsa dengan muka kesalnya berusaha merebut permen cokelat yang sudah ia berikan kepadaku. Namun, nihil. Anak itu masih tak bisa merampasnya dari tanganku. Aku berdiri, berlari dari Harsa yang mengejarku. Aku tertawa ria hingga terbahak – bahak melihat tingkahnya.

"Ih, awas saja kamu!" ujarnya dengan muka emosi.

"Hahahaha!"

"IH SINI!" ucapnya masih saja berusaha merampas 5 permen yang sudah diberikannya.

"IH JANGAN DIAMBIL. INI KAN BUAT AKU!" ujarku dengan nada menggebu.

"Iya, deh. Nggak bakal tak makan semua, pasti aku sisain." Aku berujar kearah Harsa yang kembali terdiam setelah beberapa lama. Anak laki – laki itu menarik tanganku untuk kembali duduk di atas pohon kelapa yang lapuk dan roboh.

Rencanaku kali ini bersama Harsa bukan untuk berlibur di kala weekend. Maksudnya bukan hanya itu saja, tapi juga untuk belajar bersama. Aku ingin berbagi ilmu dengan Harsa, baik ilmu yang aku ketahui maupun Harsa tidak ketahui.

Aku mengambil buku di dalam ransel. Lalu mengalihkan tatapanku kearah Harsa. "Harsa?" ujarku memanggilnya dengan suara lirihku. Ia menoleh seraya menautkan alisnya.

"Apa?"

"Kamu lihat nggak, tumbuhan bakau yang ada di sana?" ujarku menunjuk sesuatu dengan kodean mata. Anak laki – laki itu tampak mengangguk dengan polosnya.

"Tumbuhan itu bisa mencegah abrasi pantai. Abrasi itu proses pengikisan pantai. Kamu lihat itu nggak?"

Harsa memicingkan manik matanya. "Maksud kamu ombak?" ujarnya membuatku lantas mengulas senyumku. Aku menganggukan kepala. "Dia yang bisa mengikis tanah di pantai. Nah, air di laut itu bakal mengalami pasang dan surut. Ombak yang semakin menghantam tanah itu bisa menjadi suatu penyebab pengikisan tanah yang namanya abrasi."

Harsa tampak masih bingung. Manik matanya lagi – lagi menoleh ke arahku. "Terus emangnya kenapa kalau tanah di laut kena abrasi? Bukannya gapapa? Lagipula itu cuma mengikis tanah nggak berdampak apapun-kan buat manusia?" ujarnya membuatku lantas tersenyum lagi.

"Nggak gitu, Harsa. Abrasi itu bisa bikin banyak dampak buat alam, bukan alam aja sih, manusia juga."

"Dampaknya apa emangnya?" ujarnya tampak ingin tahu lebih lanjut.

"Contohnya itu kayak hutan bakau nanti bisa rusak, nah itu bisa berdampak di sektor ekonomi juga kalau banyak bakau rusak, sumber daya ikannya bakal berkurang. Nelayan jadi susah buat nangkep ikan, kalau ikannya nggak ada mereka nyari penghasilan dari mana?" Ia yang mendengar itu hanya berohria.

"Aku paham kok. Maka dari itu biar nahan abrasi kita harus nanam bakau di sekitar pantai?" Aku yang mendengar itu terkekeh. "Kurang lebihnya kayak gitu. Sama kayak hutan kalau nggak ada tumbuhan, bakal bikin erosi. Erosi itu pengikisan tanah juga tapi ini di hutan yang gundul, Sa." Aku berujar panjang lebar di hadapan Harsa. Ia masih mengamatiku lekat – lekat.

"Ada dampaknya juga?"

"Ada. Kalau hutannya gundul, pas hujan datang, nggak ada yang bisa nampung air kecuali tanah dan tumbuhan. Kalau tumbuhannya ilang, akar yang biasanya punya tugas menahan air udah nggak ada, itu bakal bikin longsor. Kerusakan hutan bahkan banjir. Maka dari itu kita harus reboisasi atau penanaman hutan kembali kalau banyak orang yang menebang pohon secara sembarangan. Karena kalau pohon ngga ada, mungkin hutan nggak bakal disebut, paru – paru dunia." Ucapanku kali ini panjang lebar seolah mengajari Harsa arti sesungguhnya tentang apa yang selalu aku pelajari di sekolah.

"Aku sekarang paham kok. Jadi intinya kita harus baik ya sama alam?" ucapnya ke arahku dengan alis yang terangkat. Untuk kesekian kalinya aku menganggukkan kepalaku. Pertanda bahwa ucapan anak itu memang benar adanya.

Aku tersenyum kearah Harsa. Lagi – lagi aku kagum dengan anak itu. Anak seumuranku yang tidak bisa seperti kebanyakan orang. Meskipun ia tidak bersekolah sepertiku, ia selalu memilih jalan lain untuk mencari ilmu, walaupun tidak lewat sekolah. Ia selalu mengandalkan hal yang ada. Contohnya ketika ada televisi, ia selalu menunggu waktu channel yang ingin ditontonnya untuk mencari sesuatu yang bahkan tidak ia tahu. Ia selalu bertanya banyak hal kepadaku tentang ketidaktahuannya setiap ia menjemputku di depan gerbang setelah pulang sekolah. Segala hal yang ia tak tahu selalu ia cari tahu. Entah dariku maupun dari segala hal yang ada di sekitarnya. Katanya tidak sekolah bukan berarti ia hanya diam saja tanpa melakukan sesuatu untuk mencari tahu hal yang tidak ia tahu.

Kami menatap ombak yang terus menerus menggulung di atas pesisir pantai. Hembusan angin juga terus menerus meresap pada kulit kami. Rasanya mendengar deburan ombak membuat hatiku menjadi tenang. Burung – burung mulai membunyikan suaranya di atas hamparan lautan. Pertanda sore hari mulai datang.

Lagi – lagi hatiku berujar tenang. Manik mataku menangkap sesuatu berwarna kejinggaan. Seperti namaku. Aku tersenyum ketika matahari mulai roboh di kaki langit. Seolah ia ditenggelamkan oleh sang laut. Terlihat kini matahari berbentuk setengah lingkaran yang menyemburkan warna kejinggaan.

"Jingga lihat! Senja-nya mulai datang. Indah sekali yaa...." Aku berujar dengan nada tenang. Ia menggenggam tangannya begitu pula aku yang membalas genggaman tangannya. Aku melihat senja yang tampak memesona di pandang mata. Terasa hangat ketika menembus kulit. Kali ini kami berdiri seraya berlari kearah pantai yang mulai menyurut. Senja itu entah keberapa kalinya ku lihat saat bersama Harsa, iya sebuah senja di pantai menganti, desa kami tinggal.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          

HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang