Tiga - Bunda Amarie

42 3 0
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!

***

Entah mengapa setiap hari anak itu selalu pergi ke rumahku untuk sekadar mengajakku bermain setelah pulang sekolah. Aku tahu, Harsa tidak punya teman kecuali aku yang kini menjadi, sahabatnya. Aku sangat bangga akan hal itu.

"Tuan Puteri Jingga!" ujarnya membuatku sedikit berdecak kesal. Tujuh hari ini Harsa selalu memanggilku dengan nama itu. Dia berteriak ke arah pintu depan rumahku. Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang, kebiasaan anak itu menjemputku untuk bermain bersama.

Setelah makan dan meminum obatku, aku keluar dari dalam rumah. Mengulas senyum ke arah anak kecil yang tengah dadah-dadah ke arahku.

"Apaan kamu nyebut aku tuan puteri!"

"Gaktahu!"

"Kok, gitu?" ujarku lagi.

"Mungkin karena kamu cantik kayak bundaku, jadi aku sebut kamu, Tuan Puteri, Tuan Puteri Jingga Fatamorgana." Harsa terkekeh seraya memarkirkan sepedanya di halaman rumahku. Aku berdecak mendengar itu.

"Iya, kah?"

"Kamu pengen tahu bundaku yaa? Dia cantik banget!" ujar Harsa tertawa, anak laki-laki itu duduk di kursi pada teras rumahku.

"Mama Jingga di rumah?" Aku yang mendengar itu mengangguk.

"Kamu sudah makan apa belum, Harsa? Kalau belum masuk dulu aja, mamaku masak enak loh!"

"Aku mau makan di rumahmu lagi, sebenarnya aku sudah makan tapi kayaknya perutku belum kenyang." Harsa terkekeh seraya menatap wajahku. Anak laki-laki itu memang apabila ditawari pasti selalu menerimanya. Si anak baik.

"Ayo masuk dulu, makanya."

•••

"Jingga kenapa kamu berat banget ya?" ujar Harsa tertawa. Aku yang mendengarnya merasa diejek oleh Harsa meskipun itu hanya candaan saja.

"Aku nggak berat! Kamu aja yang nggak kuat, Sa!" ujarku menyangkal kalimat yang dikeluarkan Harsa. Anak laki-laki itu mengayuh sepedanya. Ya, apapun yang dikatakan Harsa yang penuh becandaan pasti selalu aku jawab dengan candaan pula. Jadi aku tidak pernah sakit hati apapun yang dikatakan Harsa.

"Ke rumahku ada banyak permen, Ngga? Kamu mau ketemu bundaku nggak?" ujarnya seraya mengayuh dengan santai. Sedikit menoleh ke arahku yang berada di belakangnya.

"Aku mau!" ujarku dengan antusias. Harsa terkekeh seraya menatap ke arah depan.

"Okei! Kita ngebut ya, Ngga!" ujar Harsa membuatku tertawa bahagia.

-000-

Senyuman wanita paruh baya terlihat jelas dalam manik mataku. Tubuhku seketika terpaku karena terlalu takut berinteraksi dengan orang baru. Meskipun itu Ibu Harsa.

HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang