Enam - He's Sunshine

35 3 0
                                    

“Ngga ada kata sedih, Jingga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ngga ada kata sedih, Jingga. Kalau kamu tetep senyum, Semesta dan aku juga sama.” — Harsa Bentala Mahameru.

-000-


Sudah keberapa kali entah aku membatin, bahwasannya memiliki sahabat seperti Harsa itu adalah sebuah keberuntungan. Anak yang selalu memberikan senyuman manisnya kepadaku. Anak yang selalu membuatku lupa akan kata sedih, iya anak itu... Harsa Bentala Mahameru, sahabatku. Anak seumuranku yang selalu kuat menghadapi segala hal. Ia selalu menceritakan segalanya kepadaku.

Tentang ayahnya – Baron, yang selalu Harsa katakan bahwa anak itu sangat menyayangi ayahnya meskipun ia memperlakukan dirinya dengan tak benar. Padahal aku tahu ayahnya sejahat itu kepada Harsa dan bunda Amarie. Pernah suatu ketika, saat aku bermain di rumah Harsa, aku bertemu dengan Pak Baron, ayah Harsa. Ia terlihat mabuk berat, berusaha mengambil uang bunda Amarie yang baru saja mendapatkan uang itu dari hasil jeri payahnya. Bahkan aku tak dapat membantu bunda Amarie saat itu.

Aku juga sama – sama takut seperti Harsa yang saat itu juga bersembunyi di dalam lemari atas perintah bundanya. Kata Harsa entah keberapa kalinya ia bersembunyi dari ayahnya. Ia tahu saat ayahnya mabuk berat, pasti ayahnya selalu memukulnya. Kata Harsa, bukan hanya memukulnya, tapi juga melempari tubuhnya dengan benda – benda di sekitarnya. Botol kaca, itu benda yang pernah mengenai kulitnya hingga mengeluarkan asinnya darah merah. Terlihat jelas di sekitar leher, bekas luka itu.

Harsa tahu, ayahnya tidak pernah menyukainya. Aku menyadari bahwa omongan Harsa tidak pernah membual. Ternyata ia semenyedihkan itu. Nasibnya benar – benar lebih malang dariku. Tapi, nasibnya yang malang itu tidak sepadan dengan hatinya yang selalu tabah. Ia selalu tersenyum dalam menghadapi segala hal. Sekuat itu ia di hadapanku.

Kali ini aku mengajak Harsa ke sebuah gubuk di sekitar pesisir pantai Menganti. Memang tak seperti biasanya kami lakukan kecuali ketika hari minggu tiba. Aku inisiatif mengajaknya setelah pulang sekolah. Apapun itu, cara ini hanyalah untuk menghibur sahabatku Harsa. Aku tahu, raut matanya memang tak terlihat sedih. Tapi dalam lubuk hatinya, mungkin berkebalikan dari kata senang itu. Terlihat dari matanya seolah banyak pikiran.

Aku menolehkan pandanganku kearah Harsa. "Kamu lagi banyak pikiran?" Mendengar itu lantas Harsa membalas ucapanku.

'Nggak dong!" ucapnya penuh dengan kalimat penegasan. Aku menghela napasku, manik mata anak laki – laki itu tak pernah bohong. Terlihat, seolah ia sedang menutupi sesuatu itu dariku. Aku mengambil plester dan beberapa kain kasa yang ku bawa dalam sekantong plastic. Itu juga aku minta pada mamaku. Aku mengusap setetes betadine pada leher Harsa. Lalu menutupnya dengan kain kasa dan plester.

Anak laki – laki itu meringis seraya memejamkan matanya. "Sakit, ya?" ujarku lantas Harsa mengangguk dengan ragu – ragu.

"Bunda udah tahu, Sa?"

"Kemarin aku nutupin luka, biar bunda nggak khawatir. Aslinya sama kamu juga...tapi buru – buru udah ketawan keliatan lukanya sama kamu, jangan bilang siapa – siapa, ya?" ujar Harsa membuatku bungkam seraya menghembuskan napas. Rasanya aku sangat ingin menangis. Mendengar suara parau anak itu, seolah tak ingin membuat setiap orang khawatir.

"Sa?"

"Ayah kapan ya, sayang sama aku?" ujar anak kecil seumuranku itu. Dadaku berdebar kencang. Bibirku kembali sumbang. Kini aku menggenggam tangan sahabatku, Harsa.

"Pasti besok ayah sayang sama kamu...," ujarku mengarah ke anak itu. Harsa tersenyum seraya tertawa.

"Aku percaya, ayah sayang sama aku cuma caranya agak berbeda...dari orangtua lain. Kayaknya biar tahu kalau aku sekuat ini kayak superhero." Demi Tuhan, ucapan anak laki – laki itu terdengar seperti orang dewasa. Ia tak mau terlihat sedih di hadapanku. Benar – benar,aku ingin menangis mendengar penuturan Harsa itu. Selalu berpikir bahwa semua itu memberikan hal yang positif padahal tidak sama sekali. Bagiku yang melihatnya, hal itu berbanding terbalik dari kata positif.

Tak sadar liquid bening itu menetes dari celah mataku. Aku pun tak sadar akan hal itu. Hal itu membuat Harsa mengernyitkan dahinya. Merasa bingung mengapa diriku menangis.

"Kamu menangis, Jingga?" ucap Harsa kepadaku, membuat diriku kembali membisu. Ia mengalihkan anak rambutnya menatapku penuh dengan tanda tanya pada wajahnya.

Aku berusaha menggelengkan kepala. "Ih, kamu bohong ya sama aku?" Ia dengan cekatan meraih tangannya untuk menyeka liquid bening yang keluar dari celah mataku. Lagi – lagi liquid beningku semakin menetes, meskipun anak itu menyekanya beberapa kali. Tampak cemas melihatku mengapa tiba – tiba menangis seperti ini.

"Kamu kenapa menangis? Kamu sedih kenapa? Kamu gapapa, Jingga? Ada yang sakit?" ujarnya beberapa kali memberikanku banyak pertanyaan. Aku masih membisu dalam diam.

"Aku gapapa...," ujarku berusaha tak ingin membuat Harsa cemas.

"Beneran?"

"Mataku kelilipan, Sa...agak sakit jadi nangis...sekarang aku gapapa...," ujarku lagi. Manik mata Harsa menatapku dengan tatapan datar. Lalu menghembuskan napasnya. "Kamu sedih ya, gara – gara lukaku?" ujar Harsa lantas aku yang mendengarnya terkekeh.

"Nggak sedih, kan udah aku obatin." Harsa yang mendengar itu tertawa.

"Kamu lucu, tetap jadi temanku ya, Jingga...Ajarin aku lagi yuk! Janji aku bisa sekolah bareng kamu!" Aku tersenyum. Sementara ia membuka buku tulis yang dibawanya. Seperti biasa, tapi kali ini aku membawa ice cream untuknya. Itu juga awalnya untuk menghibur Harsa.

"KALAU KAMU BISA JAWAB SOAL INI, NANTI AKU KASIH ESKRIM!" ujarku memperlihatkan ice cream kearah Harsa. Membuatnya tampak antusias setelah aku memberikan satu soal tentang materi yang saat itu aku jelaskan. Ia benar – benar berusaha mengingat aka apa yang pernah aku katakana. Ia juga mempelajari akan hal itu, menyimpannya pada tiap bait memori tanpa melenyapkannya hingga abadi.

Aku memberikan ice cream itu pada Harsa. Senyum Harsa kembali terulas. Aku merasa senang akan hal itu. Benar, Harsa itu sebuah pusat kebahagiaan. Senyum Harsa membuatku bahagia juga.

"Aku mau makan ice cream ini bareng. Kamu harus makan satu suap sebelum aku makan ice cream juga. Inget, Jingga...hanya satu suap."

Aku memakan sedikit ice cream itu. Harsa lagi – lagi mengulas senyumnya. "Cuma satu suap ya, Jingga nggak boleh makan manis – manis." Aku mencemberutkan bibirku. Harsa yang melihat itu tertawa.

"Biar Jingga cepat sembuh, jadi Harsa nggak mau bagi – bagi sampe eskrimnya habis. Cuma satu jilatan aja."

Mendengar penuturannya aku mengembangkan senyumku. Ingin sekali aku berterima kasih kepada Tuhan, sudah mendatangkan Harsa sebagai teman baik di kehidupanku. Aku berharap kami selalu sama – sama sepanjang masa. Ya, sampai kapanpun.

"Kamu udah nggak dirundung lagi, kan sama temen – temen jahat kamu itu?" Ucapan itu tiba – tiba keluar dari bibir Harsa. Aku yang mendengar itu menggelengkan kepala.

"Karena ada kamu, jadi mereka takut dipukul kayak kemarin."

Harsa terkekeh. Ia mengangkat dagunya tinggi – tinggi menyombongkan diri ke arahku.

"Kalau dikayakgituin bilang aja ke aku. Aku superhero! Aku kuat bisa mukul siapa aja buat mereka yang jahatin kamu...."

-000-

TBC!
Follow Instagram penulis : @_giyantielsa
Info lebih lanjut mengenai cerita : @giyasa.notes

Follow wattpad sebelum membaca Elsvg02          

Makasih!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang