Sinar matahari mulai masuk melalui celah ventilasi, serta jarum jam sudah hampir menunjuk angka tujuh. Laki-laki berusia dua puluh delapan tahun itu tak kunjung membuka kedua matanya dan segera memulai hari baru. Entahlah, mungkin mimpinya terlalu indah dan sangat menyayangkan jika ditinggal bangun.
"Hanma, cepat bangun!!" Seruan [Name] terdengar dari balik dinding bersamaan dengan gemericik air kran. Sepertinya wanita itu lupa jika saat ini ia juga Hanma.
Tidak merasa heran. Karena sebelum menikah pun [Name] tahu jika Shuji termasuk golongan manusia yang susah di bangunkan. Mau tak mau [Name] harus meletakkan sayur yang baru ia cuci dan kembali ke kamar.
"Hanma, hey?!" [Name] mengelus pucuk kepala sang suami dengan pelan. Kemudian ia menghembuskan nafas gusar, sadar jika sudah membuat kesalahan bodoh karena membangunkan laki-laki itu dengan kelembutan.
"Hanma!!" [Name] sedikit menaikkan nada bicaranya. Lagi-lagi ia memanggilnya Hanma. Entah benar-benar lupa, atau karena kebiasaan.
"Berisik!" Shuji berucap dengan kedua mata yang masih terpejam. Ia justru menutup telinganya dengan guling kemudian kembali menarik selimut yang sempat ditarik oleh [Name] beberapa detik lalu. "Sejak kapan suaramu terdengar seperti suara perempuan?"
"Kau bicara apa hah?!" [Name] kembali menarik selimut tebal tersebut. Menampakkan sosok Shuji Hanma yang mirip gembel ew.
"Berhenti bersuara seperti itu, dan ya, bukannya kau sudah mat--eh?!" Menyadari apa yang baru saja ia katakan, Shuji langsung bangun dan duduk di atas ranjang. Kisaki, sejak tadi ia berpikir jika yang membangunkannya adalah Kisaki Tetta.
[Name] menatap Shuji yang duduk di depannya dengan wajah kebingungan. Heran. Apakah laki-laki itu gila?.
Sang pemuda menyunggingkan senyum tipis. Sepertinya nyawanya sudah terkumpul, atau justru malah semakin gila. Tangan kanannya terulur untuk memegang pipi [Name].
"Kupikir menikahi mu itu hanya mimpi."