Bab 3

70 17 1
                                    

"Sungguh, apakah masih banyak yang harus di beli?"

Netra Minho menatap malas sekaligus lemas area pasar dengan suasana ramai tak terhingga, ia menenteng dua kantung plastik penuh, yang satu berisi daging tiga kilogram dan yang satu berisi aneka macam sayuran yang bisa di bilang cukup berat juga.

Tunggu, mengapa harus Minho yang membawa belanjaan itu semua?

Padahal semua itu adalah barang belanjaan Jisung, Minho yang malang.

Di sebrang sana Jisung hanya tertawa menatap Minho dengan raut wajah tertekan, dan itu sangat lucu baginya.

Teringat kembali saat fajar tadi dimana ia menyelinap masuk ke halaman rumah Minho dan menggedor-gedor keras jendela kamar Minho dari luar, sengaja membangunkannya untuk menemaninya pergi ke pasar.

Bahkan sampai saat dimana mereka sampai di pasar, Minho belum sempat mandi, ia terbangun dan langsung bergegas begitu saja.

Sahabat yang baik, kalau kata Jisung.

"Sudah?" tanya Minho disaat Jisung menghampiri dirinya setelah membeli bumbu masakan di kedai sebrang sana.

Jisung mengangguk sebagai jawaban, ia meraih kantung plastik berisi daging yang sedari tadi Minho bawa.

Minho merasa sedikit lega setelah Jisung membawa sebagian barang belanjaan tersebut, "Mengapa tidak sedari tadi?"

Jisung kembali lagi tertawa, "Hitung-hitung olahraga, Ho"

"Olahraga apanya, pegal iya" Minho memutar kedua bola mata malas.

"Ini baru yang dinamakan libur produktif" bersusah payah Jisung merangkul pundak Minho yang tingginya lumayan sedikit jauh dari tinggi tubuhnya.

"Iya-iya, sehabis ini kita kemana?"

Netra Jisung terus mencari-cari objek yang sama sekali tidak terlihat asing baginya,

"NAH, DISANA" dengan antusias penuh ia menunjuk salah satu kedai mie yang lumayan ramai pembeli.

"Itu kedai langganan ku sama Bunda, saat sehabis belanja aku dan Bunda selalu makan disana, di jamin enak, tadi Bunda juga titip pesan untuk mengajakmu makan disana" jelas Jisung, sungguh kedua matanya berbinar sangat terang, seakan memancarkan energi positif yang selalu ia bawa.

Seutas senyum mengembang penuh pada raut wajah Minho, tak terlewatkan satu detik pun, jika Jisung bahagia maka ia juga akan bahagia.




































•Roller Coaster•


































"Senin ke Minggu terasa sangat lama, tetapi mengapa Minggu ke Senin terasa begitu cepat, mengapa hari libur terus berlalu dengan cepat?" keluh Minho pada udara malam, rembulan yang membisu, serta Jisung yang masih berada disisinya.

"Semua memang sudah di rancang seperti itu, jika kau menginginkan banyak hari libur, maka waktumu akan terus terbuang sia-sia" sahut Jisung.

Halaman teras rumah Jisung memang sudah yang paling pas ketika di gunakan untuk berbaring menatap langit malam, sungguh terasa sangat nyaman.

Keberadaan jarak rumah mereka yang sangat dekat membuat Minho tidak perlu capek-capek jika ingin terus bermain ke rumah Jisung, karena cukup berjalan sepuluh langkah maka ia sudah sampai tepat di depan halaman rumah Jisung.

"Jisung"

"Hm?"

"Sungguh tidak terbayang, bagaimana jika aku tidak memiliki seorang sahabat seperti mu, dan tidak pernah terbayang lagi bagaimana jika sahabat ku itu bukan kamu"

"Pasti dunia ku terasa jauh lebih berbeda, mungkin tidak sebahagia ini" sambung Minho, netranya masih terus menatap penuh hamparan langit gelap yang hanya diterangi oleh sedikit cahaya rembulan.

Jisung beranjak dari posisi sebelumnya, ia duduk dan melakukan gerakan-gerakan konyol, "Maka beruntunglah kau memiliki sahabat seperti aku, pria tampan, baik hati, pintar, manis, imut, yang selalu cerita di setiap harinya, Ha ha ha ha"

Minho ikut beranjak juga, lagi-lagi ia menatap dengan raut wajah malas, "Berbicara dengan mu memang tidak pernah serius, Jisung"

"Lagian, kau bicara yang tidak-tidak saja, kau tahu hadirnya aku memang sudah takdir Tuhan, begitupun sebaliknya, hadirnya kau juga sebuah takdir Tuhan untukku, jadi kau tidak perlu lagi membayangkan hal yang memang sebenarnya tidak terjadi, seperti yang kau bilang sebelumnya bagaimana jika sahabat mu bukan aku. Karena nyatanya hal yang terjadi adalah kau ini sahabatku"

Malam itu mereka mengukir senyum bersama, bahkan sempat terpikirkan oleh mereka, apakah manusia lain di luar sana, juga merasakan apa yang mereka rasakan?

Yaitu, saling bersyukur akan kehadiran sosok seorang sahabat.

Bahkan mereka sampai takut, dan bahkan tak pernah terbayangkan, jika mereka akan kehilangan salah satu di antaranya, sama sekali mereka tak ingin merasakan itu, walau sejatinya setiap pertemuan akan selalu ada perpisahan. Tetap saja, mereka tidak menginginkan itu.

~~•••~~

Roller Coaster | MINSUNG [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang