Bab 4

364 70 18
                                    

Elizabeth menghitung bahwa mereka telah berjalan selama empat hari.  Meski begitu, orang-orang di rombongan ini tidak mengeluh sama sekali. Tampaknya perjalanan panjang adalah hal yang biasa bagi mereka. Berbeda dengan dirinya. Dia hanya putri seorang kepala desa yang tidak biasa bepergian.  Elizabeth lelah, padahal dia sama sekali tidak berjalan.  Cuaca yang terik membuat tubuhnya penat dan lengket. Dan pada malam hari dia merasa kedinginan karena sepertinya hutan itu memiliki pikiran yang berbeda akan suhu pada siang dan malam hari. Dia tidak dapat membayangkan apa yang dirasakan Derek.

Pria itu pasti lelah karena harus menggendongnya sepanjang hari. Padahal Elizabeth yang hanya harus diam dalam gendongannya saja merasa pegal karena harus berada dalam posisi yang sama. Dan kakinya yang terkilir juga menambah ketidaknyamanan yang dia rasakan. Bengkak di pergelangan kakinya makin lama makin parah meski Derek selalu menyempatkan untuk merawatnya setiap kali mereka berhenti.

Pria itu menempelkan daun yang berfungsi sebagai obat untuk mengurangi bengkaknya. Sebenarnya hal itu cukup membantu seandainya mereka memiliki lebih banyak daun tersebut. Tapi tampaknya tidak banyak yang bisa Derek temukan di hutan ini. Bengkak di kakinya hanya berkurang sedikit dan makin hari pergelangan kakinya makin terasa sakit.

Malam ini, Elizabeth tidak tahan lagi. Dia lelah, kedinginan, dan merasa sakit di seluruh tubuhnya. Seperti biasa, dia sedang duduk di atas sebuah alas tidur yang telah dihamparkan Derek untuknya. Sebagian besar rombongan telah tertidur pulas. Bahkan Kapten Clift sudah mendengkur sejak tadi. Namun seperti malam-malam sebelumnya, dia dan Derek selalu beristirahat terakhir. Derek karena harus merawat kakinya, dan Elizabeth karena dia tidak dapat tidur dengan nyaman di atas tanah keras yang sangat berbeda dengan tempat tidur di kamarnya.

Elizabeth membiarkan air matanya jatuh lalu mulai terisak. Suaranya lirih tapi air matanya tumpah seperti bendungan yang sedang bocor. Mengalir tanpa henti.

"Apakah sakit?" Derek mendongak dari pekerjaannya merawat kaki Elizabeth ketika mendengar isak tangis gadis itu. Elizabeth tidak menjawab dan hanya menangis makin keras.

"Bella." Derek merangkak hingga duduk di samping Elizabeth lalu memalingkan wajah gadis itu hingga mereka berhadap-hadapan. Kali ini mata Derek tampak berwarna hijau muda ketika mereka bertatapan.

"Ada apa? Katakan padaku." Derek bertanya lembut seraya menghapus air mata di pipi Elizabeth dengan ibu jarinya.

"Aku ingin pulang." Elizabeth berkata sesenggukan di sela-sela isak tangisnya. Derek hanya menatapnya tanpa ekspresi dan tidak menjawab.

Lalu pria itu melingkarkan tangan di tubuhnya dan membawa Elizabeth ke dalam pelukan. Derek menggosok punggungnya dengan lembut dan membiarkannya menangis. Elizabeth membenamkan wajah di dada telanjangnya dan melepaskan segala penat yang dia rasakan. Dia tidak pernah seintim ini dengan seorang pria. Namun Derek benar-benar membuatnya nyaman hingga dia tidak peduli lagi dengan norma-norma yang berlaku. Yang dia butuhkan saat ini adalah tempat berlindung, bukan peraturan. Dan, Derek terasa sangat tepat untuk menjalankan peran itu.

"Bersabarlah." Derek berbisik di telinganya ketika tangis Elizabeth mulai mereda. "Saatnya akan tiba."

"Kapan?" Elizabeth bertanya dengan suara sengau tanpa menjauhkan wajahnya dari dada Derek.

"Segera, Bella."

Lalu Derek tidak berkata-kata lagi. Pria itu hanya terus memeluknya hingga dia merasa tenang. Meski, Elizabeth tidak akan tenang sebelum Derek menjawab pertanyaannya.

"Kenapa, Derek? Kenapa kau ingin membebaskanku?"

Tidak ada jawaban dari Derek tapi gerakan tangan pria itu di punggungnya langsung berhenti. Elizabeth merasakan tubuh Derek yang menjadi kaku. Dia mendongak dan melihat kini mata Derek berganti warna menjadi kuning menyala seperti mata kucing. Rahangnya mengencang dan otot di pipinya berkedut. Seakan dia sedang menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu.

Cold Hearted ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang