[21] take a look back

6 3 0
                                    

"Gazza, anterin gue ke kampus ayo. Sekarang!" Gina yang tampak terburu-buru membuka pintu kamar Gazza yang masih tertutup sejak tadi.

Gazza yang di dalam kamar masih rebahan di atas kasur, dengan selimut dan tirai yang masih tertutup, padahal hari sudah mulai siang.

"Gazza!"

"Males."

Gina masuk ke dalam kamar adiknya dan menarik selimut Gazza, "Nanti gue beliin McD."

"Gue juga punya duit kali," Gazza melirik dan kembali menaikkan selimutnya sampai sebatas dagu, "Minta anterin pacar lo sana."

Dan Gazza yang rebahan sambil membelakangi kakaknya itu langsung cepat berbalik begitu sebuah benda terlempar menghantam punggungnya.

"Lo ngeledek ya?"

Gazza diam sejenak lalu langsung cengengesan, "Oh iya, lo baru aja diputusin ya?"

"Heh! Gue yang mutusin."

"Cih! Ngakunya lo yang mutusin, tapi lo juga yang tiga hari nangis-nangis sampe ngabisin tisu sembilan kotak."

Gina balas mendecih, "Ngaca dong. Siapa juga yang beberapa hari ini moodnya naik turun, udah kayak cewek lagi PMS aja."

Ah, mengingat masalahnya lagi, Gazza kembali diam. Terbayang lagi momen di mana Lula dan Aswin tampak bahagia berdua, bermain game dengan teman-temannya yang lain di villa tempo hari.

Rasanya seperti, ada tidaknya ia di sana, itu tak masalah. Seperti, Gazza merasa hilang, atau mungkin seperti kehilangan sesuatu.

Seharusnya Gazza ada di sana. Seharusnya Gazza yang membuat tawa, bukannya...-

"Kak, menurut lo, mungkin gak, sih, cewek sama cowok itu murni temenan tanpa ada rasa?"

"Mungkin aja," Jawab Gina sambil membuka tirai kamar Gazza, "Bertahun-tahun gue jadi anggota remaja masjid komplek kita, kerja sama temenan sama Bang Omar, Fikri, Mas Pahlefi, Ayman, gak ada tuh terlintas sedikit pun kalo gue ada rasa sama mereka."

"Iya, sih. Tapi, bukan itu maksud gue."

Gina mengangguk-angguk, seperti mengerti ke mana arah pembicaraan Gazza.

"Tapi, kalo maksud lo temen kayak lo sama Lula, sih, gue gak bisa jamin ya."

Gazza melirik. Ia masih diam menunggu kelanjutan ucapan Gina.

"Ke mana-mana berdua. Apa-apa selalu mengandalkan satu sama lain. Saling bergantung. Cerita ini itu juga sama dia aja. Udah ngerti satu sama lain. Kalo kata orang, sih, cinta itu bisa datang karena terbiasa. Istilahnya, kenapa harus cari yang jauh, kalo yang deket aja udah terasa pas di hati."

Gina berjalan menghampiri adiknya yang masih rebahan, "Itu, kan, yang lo rasain ke Lula sekarang?"

"Gak juga," Buru-buru Gazza membantah, "Buktinya gue punya Erita."

Gina tertawa kecil, "Ya coba lo tanya ke diri lo sendiri. Erita itu ada, karena lo emang bener-bener suka sama dia, atau cuma karena lo terlambat sadar, kalo lo ada rasa sama sahabat lo sendiri."

"Saran gue ya, pikirin baik-baik, putuskan yang bener-bener jadi hal terbaik buat diri lo dan yang lainnya. Jangan karena kebimbangan dan keegoisan lo sendiri, malah menyakiti dan akhirnya pihak lain yang jadi korban."




"Dek, ditanya ibu tuh, lo mau makan apa?"

Gak pake permisi, gak pake ngetok pintu, Raven main masuk aja ke kamar adik perempuannya.

September SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang