6.

404 49 0
                                    

Kaki jenjang Mark melangkah menelusuri koridor panjang dengan lampu redup bahkan beberapa menyala hidup. Mati enggan. Hidup tak mau. Memang lampu yang menyebalkan. Tetapi lebih menyebalkan ketika Mark menghentikan langkah kakinya didepan sebuah kamar, matanya menatap pada seorang anak laki - laki bertubuh gemuk yang berbaring diatas meja besi. 

Meski dengan dengusan kesal, Mark tetap masuk kedalam ruangan berbentuk persegi dengan sedikit perabotan. Hanya ada ranjang kecil dengan meja kecil disampingnya yang menyimpan alat - alat bedah dan berbagai senjata tajam. Kemudian diujung ruangan terdapat wastafel, kemudian dibagian ujung lainnya terdapat sofa panjang yang biasanya Mark gunakan untuk beristirahat jika dia bosan dengan kegiatan yang akan dilakukannya.

Mark mengambil dua sarung tangan plastik bening, memakainya sembari terus menatap pada tubuh gemuk anak laki - laki yang berbaring diatas meja besi. Dia benci ketika harus 'menyembelih' manusia gemuk, lebih sulit, ditambah ia harus melihat lemak - lemak menjijikkan yang terkadang meleleh jika dia iseng ingin membakar daging si korban. Mark meletakkan handphonenya dalam keadaan hidup di meja kecil yang ada didekat wastafel, ia kemudian mendekat pada anak laki - laki yang berbaring diatas meja besi. 

Tangan Mark melayang dengan cepat, menampar keras pada pipi gembul anak laki - laki yang terhentak kaget hingga kesulitan bernafas. 

Apakah Mark berbelas kasihan? Tentu tidak. Tangan Mark memukul  dan terus menghujani wajah si anak laki - laki dengan pukulan - pukulan keras hingga wajahnya babak belur, pipinya membengkak dan membiru dengan darah yang mengalir dari hidung dan mulut. 

"Tolong!!! Kenapa memukuliku??? Tolong!!!"

Telinga Mark tak tuli, bahkan mendengar jelas dengan teriakan dan jeritan dari si anak laki - laki. Tapi dia tidak peduli dan memang tidak akan peduli. Mark menghentikan pukulannya namun tidak dengan permaiannya. Tubuhnya memutar sedikit, memilih - milih senjata tajam yang akan digunakannya untuk membelah tubuh si anak laki - laki. 

"Eomma.. tolong...."

Tangan Mark yang tengah menari - nari diatas pisau segera terhenti, ia mendengar isak tangis dari anak laki - laki yang terus menerus memanggil ibu untuk menolongnya. Mark terdiam namun nafasnya semakin memburu berat. Ingatan menyakitkan dan menjijikkan itu masuk kedalam kepalanya begitu cepat. Seperti desingan peluru yang menembus kulit tubuhnya dan menembak langsung kedalam jantungnya. Mematikan jantungnya, sekaligus hatinya. Dengan kasar, Mark mengambil pisau berukuran cukup besar, ia membalikkan badan, kembali menghadap pada si anak laki - laki berbadan gemuk dan dia dengan segera menancapkan pisaunya ke perut buncit penuh lemak yang menjijikkan ini. 

Mark sama sekali tidak mendengarkan jeritan penuh kesakitan dari si anak laki - laki. Tangannya terus bergerak membelah perut si anak laki - laki yang memberontak hebat yang dia pikir bisa menghilangkan rasa sakit - namun justru semakin sakit. Mark menghentikan pergerakan pisaunya tepat ketika mencapai ujung tenggorokan si anak laki - laki, ia mencabut pisaunya dan dengan tangan kosong membelah tubuh yang sudah ia belah. Darah yang terus mengalir membasahi meja besi seakan bukan penghalang untuk Mark mencabuti organ - organ dalam si anak laki - laki. 

Jantung

Hati

Paru - paru

Semua organ dalam berharga mahal ia ambil dari tempatnya, ia letakkan didalam sebuah toples yang telah ia isi dengan formalin. Nafas Mark masih tersenggal - senggal ketika matanya menatap kearah si anak laki - laki yang telah mati. Pergulatan Mark dengan emosi dan cerita memilukan di masalalunya terganggu dengan nada dering kencang dari handphonenya. Ia tidak segera melangkah menuju handphonenya, namun karena nada dering yang tidak juga segera berhenti, kakinya melangkah menuju handphone.

Semua emosi amarah, kesedihan yang menguasai dirinya tadi anehnya dengan seketika menghilang ketika melihat foto Haechan di panggilan telepon. Foto penuh senyuman yang membuat dirinya segera melupaka rasa sakit, sedih dan kecewa. Seakan didunia ini jika dia bisa melihat senyuman Haechan maka yang ada hanyalah kebahagiaan. 

Mark melepaskan sarung tangan plastik penuh darah, ia kemudian menerima panggilan telepon dari Haechan dengan senyuman lebar penuh dengan ketulusan. 

"Iya ada apa Haechan?"

SangkarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang