19. Prioritaskan Kejujuran

43 6 1
                                    

Tidak terasa, setengah semester berlalu. Besok kami akan melaksanakan UTS. Penilaian di ujian ini sangat berpengaruh terhadap IP, jadi aku tidak mau melewatinya tanpa persiapan yang matang. Apalagi sebagai penerima beasiswa bidikmisi, terdapat persyaratan minimal IPK yang harus dicapai.

"Sani rajin ya, dari tadi baca buku terus," ucap Kak Hamzah memecah fokusku pada materi Pengantar Pendidikan.

Saat ini kami sedang berada di kiosnya Kak Hamzah. Aku sudah lima hari bekerja dengannya. Kebetulan sekarang belum banyak pembeli, jadi aku bisa mengisi waktu dengan belajar.

"Mau ujian, Kak," balasku sekenanya tanpa mengalihkan pandangan dari lembaran super penting ini.

"Ohh ... UTS ya?" sambungnya lagi, padahal aku sangat berharap dia diam sampai ada pembahasan yang benar-benar penting untuk dibicarakan.

"Iya." Oke aku harus terlihat sedang benar-benar tak ingin meladeninya.

"Semangat ya, San," lanjut Kak Hamzah. Kali ini aku langsung melongok dan mendapati senyuman hangat terukir di wajahnya.

Aku tak menjawab, kikuk sekali. Bodohnya malah langsung menunduk tanpa mengucapkan terimakasih. Mungkin ekspresiku sekarang terlihat datar, berbanding terbalik dengan debaran jantung yang ketar-ketir.

"Hahahaha." Kak Hamzah tertawa seperti baru saja melihat komedi di televisi. Tapi, menertawakan apa? Dia tidak sedang memegang handphone yang bisa jadi sebagai sumber kejenakaan.

Spontan, kepalaku memutar ke arah wajahnya, dan dia semakin tertawa kencang. Keningku mengerut mendapati sikap anehnya itu. Apa dia sedang menertawakanku?

"Kenapa sih?" gumamku setengah geram.

"Lagi grogi ya, San?" Sekarang tawanya telah mereda, tapi tatapan mengejek masih terpancar di mata laki-laki ini.

"Grogi apa?!" Aku tidak terima dituduh grogi, walaupun sebenarnya memang iya.

"Atau sekarang kamu udah belajar pake pemerah pipi? Tapi kenapa merahnya barusan aja ya, gak dari tadi pas datang," terang Kak Hamzah pura-pura berpikir sekaligus memojokkanku.

Ya ampun, berarti pipiku memerah? Aku langsung bangkit menuju ke cermin panjang di dinding belakang, memang disediakan khusus untuk calon pembeli yang ingin mencoba-coba sebelum membeli.

"Gak ada yang merah loh, Kak," protesku begitu melihat semua kenormalan di depan cermin.

"Ya kan tadi merahnya, sekarang udah hilang. Groginya tadi." Ia sok berteori.

"Siapa juga yang grogi." Aku berkelit.

"Orang yang pake dasi saat upacara, gak akan takut kan kalau ada pemeriksaan?" tanyanya di luar topik.

"Hem," sahutku yang memahami arah pembicaraannya.

"Kalau ada hujan tiba-tiba, yang gak menjemur apapun pasti gak akan panik lari-larian kan?" tambahnya lagi.

"Hemm," dehemku lebih panjang sebagai tanda aku malas mendengar perumpamaan yang ia buat.

"Ya sama, orang grogi pasti takut kalau ketauan ahahahahha." Dia pun tertawa lagi.

Kesal banget lihat dia, kenapa sih harus mengatakan itu semua. Seandainya memang benar tadi pipiku memerah, harusnya dia pura-pura tidak tahu saja. Ya Allah, bagaimana ini padahal aku sudah berjanji pada diri sendiri agar tidak terbawa perasaan dengannya lagi.

***

Suasana kelas terasa hening karena Bu Ayu sedang mengawasi UTS Pengantar Pendidikan. Semuanya sibuk dengan kertas ujian masing-masing. Ya walaupun kesibukan itu berbeda-beda, misalnya ada yang sibuk mengingat materi yang telah dihafalkan dan ada yang sibuk memikirkan kalimat indah apa yang bisa dituliskan untuk mengarang bebas. Hayo ngaku, kamu juga pernah begitu kan?

"Pesst, pesst, hei Meika. Mei, Mei," panggil Arman setengah berbisik.

Dia mulai berani calling-calling, karena Bu Ayu baru saja keluar mengangkat telepon. Aku diam saja, tidak menggubris panggilannya.

"Ya Allah, Mei, liat dulu sini sebelum ibuk masuk lagi." Arman belum putus asa membujukku yang mendadak pura-pura tuli.

Kaki kursiku ditendangnya dengan pelan. Dia duduk tepat di belakangku. Hem, aku mulai jengkel. Tapi kubiarkan saja, pasti dia akan bosan dengan sendirinya.

"Eh, Abang ngapain tuh?" tegur Bu Ayu pada Arman yang ketahuan menggangguku. Duh, jadi kasihan melihatnya.

"Gak apa-apa Bu, lagi melenturkan persendian." Bisa saja ngelesnya, aku yang jantungan dia ditegur, eh orangnya malah selow tuh.

"Jangan ada yang berbuat curang ya, kalau sampe ketauan ... Nilai C saya kasih di portal," ancam Bu Ayu dengan nada galak.

Aku setuju dengan kebijakan Bu Ayu. Karena bagaimanapun kejujuran tetap lah yang utama. Keberkahan ilmu hanya akan diperoleh dari cara yang baik, bukan nilai tinggi dengan menghalalkan segala cara.

Kejujuran memang terkadang pahit, namun sejatinya kepura-puraan di atas dusta justru lebih menyengsarakan. Bayangkan saja jika kamu memiliki nilai yang tinggi, namun saat berhadapan dengan dunia kerja malah tidak ada apa-apanya. Itu lebih memalukan.

Mungkin kita semua pernah khilaf, tapi mulai sekarang mari kita ubah kebiasaan itu. Jadikan niat menuntut ilmu karena Allah, meraih ridho-Nya, sebagai jalan agar kita semakin mudah beribadah.

***

Makhluk imut berbulu lebat yang biasa kita panggil "Mpus" ikut mendengarkan pembicaraan para mahasiswa yang terjebak pada kenangan beberapa menit lalu.

"Mei, ih, jauhin itu kucingnya. Dia gak mandi loh bertahun-tahun, jorok," kata Aca tampak syok saat aku menghampiri mereka.

Aku orang terakhir yang keluar dari ruang ujian, jadi ya sudah tentu tertinggal obrolan hangat ini.

"Ih kamu mah, imut tauk si Mpusnya," cicitku sambil tetap mengelus-elus kucing terlantar yang baru saja kutangkap di lantai depan pintu kelas.

Aca sedikit menggeser posisi duduknya, aku hanya senyum-senyum melihat tingkahnya. Lain dengan Sinta yang langsung berpindah tempat duduk ke sampingku agar bisa ikut menyapa si Mpus.

"Mpus, ututututu," lirih Sinta sambil memainkan jarinya ke hidung Mpus.

Aku mendengar dengan seksama pembicaraan mereka, banyak yang mengatakan soal Bu Ayu terlalu HOTS. Aku setuju dengan hal itu, buktinya aku membutuhkan tambahan waktu untuk mengerjakannya. Untung saja Bu Ayu mau menungguku. Kata Bu Ayu, kebetulan dia tidak ada jadwal mengajar di jam berikutnya.

"Mei ... Mei ... Akhirnya keluar juga. Gak usah terlalu dipusingkan, ini cuma dunia, dunia, dunia, Mei," lontar Arman begitu mendapatiku sudah bergabung dengan mereka.

"Heleh, sok dunia. Tadi yang berusaha minta jawaban ke Mei itu siapa ya?" Perkataan Sarah sangat mewakili pemikiranku hehe. Jadi aku tidak perlu repot-repot membela diri.

***

To be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued

Capuccino Sore Itu  ✅ [Tamat dan sudah Direvisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang