"Yaaa... Adek kurang gercep. Kertas manilanya tinggal ada yang warna hijau. Tadi udah diborong semua, Dek." Begitu lah jawaban yang kuterima dari penjaga warung di depan kampusku.
Padahal ini adalah tempat yang ke-tujuh kalinya aku bertanya. Rasanya aku ingin beralih profesi sebagai penjual manila putih, merah, dan biru sejak dua hari yang lalu. Kalau begitu pasti aku dapat keuntungan yang banyak saat masa ospek begini.
"Jadi gimana nih, Ni? Masa iya kita harus ke kota cuma demi beli kertas manila?" tanya Ely padaku.
"Yee... Mana gue tahu, Non. Kalo kamu ngikutin kemauanku sih, aku milih gak usah beli. Mending dihukum bentar daripada keluar duit untuk ongkos ke kota," jawabku memberi saran tercerdas yang terlintas dalam kepala. Jujur saja, aku sedikit apatis dengan yang dinamakan per-ospek-an.
"Ya ampun Nia, demi apa aku punya teman kos se-tidak acuh kamu, huhu." Dia pura-pura menangis dan sepertinya memang frustasi menghadapi tingkahku yang ogah-ogahan ini.
"Udah, jangan mewek. Nanti pasti ada jalan keluarnya. Utamakan mengisi perut," kataku sambil berjalan meninggalkan Ely menuju warung bakso di sebelah penjual manila tadi. Dan sudah pasti Ely akan mengikutiku, dia tidak punya pilihan lain.
Dua mangkuk bakso sudah tersedia di atas meja, lengkap dengan es Nutri Sari yang sangat menggoda selera. Kami berdua sebenarnya belum makan nasi sejak tadi pagi, tapi sore ini malah menyantap makanan yang kurang bertoleransi pada lambung. Ya sudah lah, katanya memang begini tradisi mahasiswa. Jadi mari lupakan sejenak tentang kesehatan, sampai nanti kesehatan yang melupakanmu, eh astaghfirullah.
***
"Kenapa senyam-senyum sendiri?" Ely mulai memasang mode kepo saat melihatku nyengir tidak jelas begitu karena mendengar notifikasi dari ponselku.
"Menurut kamu karena apa?" Bukannya menjawab, aku malah balik bertanya.
"Pasti chattan sama gebetan, kan?" tebaknya tidak tepat sasaran.
"Huu... Jalan pikiran kamu terlalu klise! Aku gak punya gebetan, Ely," ucapku menutupi sedikit kebodohan ini.
Sebenarnya aku tersenyum karena merutuki kebodohanku yang sengaja mengaktifkan notifikasi postingan dari akun instagramnya si doi. Jangan berasumsi yang tidak-tidak, oke? Doi itu adalah seseorang yang kukagumi secara diam-diam. Kalau kamu ingin menertawakanku boleh kok, hehe.
"Ya udah lah terserah, cepetan makannya. Abis ini kita harus beli beras, mandi, sholat, keliling kota cari manila, buat petakan dari kardus dan manila, dan masih banyak lagi," tutur Ely dengan menguraikan seabrek to do list kami.
"Iya... Hmm." Aku masih fokus memperhatikan orang di layar ponselku dan sesekali tersenyum lagi.
***
"Cepat, cepat, cepat... Cepat Dek, lari, lari, lari," teriak senior berambut keriting itu sambil menggerakkan tangannya seperti polisi lalulintas, "jangan lelet jalannya, udah telat nih."
Aku berlari tergopoh-gopoh sambil memegangi ransel, petakan kardus manila, dan sisi jilbabku yang brosnya hampir lepas. Padahal aku hanya telat satu menit tapi peraturannya serempong ini.
"Baris ke sebelah kiri ya, Dek. Itu khusus yang telat." Kali ini suara senior tadi sedikit lebih lembut ketika aku lewat di depannya. Aku tidak menjawab.
Sekarang aku sudah bergabung dengan kaum teraniaya lainnya. Perkara selisih satu menit saja kami harus menerima bentakan menyebalkan dari senior-senior itu. Aku disuruh berdiri paling depan dan menyiapkan barisan, lalu disuruh memperkenalkan diri.
"Nama saya Meika Sania, asal dari Mandailing Natal. Saya prodi Pendidikan Biologi." Kurasa itu adalah kalimat perkenalan yang paling tepat.
"Ohh Biologi, pantesan manis," ucap abang yang berambut keriting tadi. Sungguh gombalan yang tidak logis dan tidak elegan.
Setelah memperkenalkan diri, aku masuk ke barisan. Di sebelahku ada Ely. Kami memang selalu bersama. Karena mencari teman itu tidak mudah apalagi di tempat baru, makanya kami berdua harus saling menjaga dan menguatkan. Meskipun nanti saat sudah pembagian jurusan kami akan tetap terpisahkan.
***
PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru) hari ini lumayan melelahkan. Sekitar pukul enam sore baru lah acaranya selesai. Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai ini, bagiku ini lebay. Sudah tiga kali aku dihukum dalam satu hari, yang pertama karena telat, terus karena lupa bawa cokelat, dan satu lagi karena tidak mau bernyanyi untuk si abang keriting tadi. Sungguh menyebalkan, tapi sudah lah mari lupakan.
"Capek banget ya, Ni. Jadi pengen menghibur diri dulu sebelum balek ke kos," kata Ely dengan lesu.
"Hehe, ya udah ayo jajan," saranku memberi usul hiburan tersimpel yang ku tahu.
"Tapi kita lagi berhemat, kan?" Ah iya, tentu saja dia benar. Tapi untuk kali ini hasratku untuk membeli jajan lebih besar daripada keinginan untuk berhemat.
"Beli es tebu tiga ribu aja, deh." Aku mengusulkan hal itu karena memang di depan kampus kami banyak yang menjual es tebu, alami, segar, sehat, dan ramah di kantong.
Satu lembar uang dua ribu dan satu lembar uang seribu sudah berpamitan dengan dompetku. Aku berjanji, besok tidak akan membawa dompet lagi. Kalau berjajan setiap hari, bisa-bisa aku tak makan nasi sebulan ini.
Usai menikmati es tebu di pinggir jalan, kami melanjutkan perjalanan menuju peristirahatan ternyaman selama di perantauan, apalagi kalau bukan kos.
Sepanjang jalan pulang banyak sekali godaan. Ada sate, tahu crispy, martabak, bakso bakar, bakso goreng, sosis saos, bakso kuah, dan anggota pasukan makanan lainnya yang membuat kami harus menutup mata, atau setidaknya menguatkan hati sambil meneguk saliva. Tak apalah kali ini melihat-lihat saja, mungkin bisa jadi referensi sebagai menu apa yang akan dibeli saat sudah banyak uang nanti.
To be continued
Hai👋 makasih sudah mampir ya. Semoga suka dengan ceritanya. Sebelum lanjut tolong komen dong supaya aku tahu perasaan kamu setelah membaca ini gimana hehe. Oh iya sekalian tekan tanda bintang di kiri bawah itu ya, supaya aku makin semangat nulisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Capuccino Sore Itu ✅ [Tamat dan sudah Direvisi]
RomanceAku tidak berani bermimpi. Mungkin ini adalah capuccino terakhir yang bisa kunikmati sambil berbincang berbagai basa-basi denganmu. Membicarakan konsep masa depan yang terlalu jauh, bagiku semacam menelan angan kosong. Lelah jiwaku bila terus berpur...