37. Gambaran Masa Depan

28 0 2
                                    

Kehidupan selayaknya lembaran novel yang harus dibaca berurutan. Tak boleh dilewatkan satu bab pun, sebab ceritanya akan tidak sinkron dan kurang lengkap. Bila tergesa-gesa, apakah kita ingin cepat tamat? Begitu lah kata-kata mutiara yang kudapatkan dari sebuah postingan di media sosial saat aku menyempatkan diri scrolling, sebelum berangkat ke kampus. Aku setuju dengan pemikiran itu. Meski semester dua perkuliahan mulai terasa berat, namun aku tak mau buru-buru membuka kotak rahasia yang kita juluki masa depan. Sebab masa kini adalah proses yang mendewasakan, menjadikan tumbuh, dan akan dikenang.

Sebagai mahasiswa Pendidikan Biologi, ada sedikit rasa tertantang dalam diriku ketika akan mengakaji ilmu Biologi lebih dalam lagi. Mengotak-atik lensa mikroskop demi mendapatkan fokus yang tepat pada pengamatan sebuah objek, membedah hewan kelas tinggi, mereview jurnal-jurnal ilmiah terkait, dan mengobservasi laboratorium terbesar (alam) adalah sederet aktivitas yang akan kami lakukan selama 16 pertemuan ke depan. Begitu informasi yang kudapatkan dari para senior.

"Ada pertanyaan?" suara Pak Hamdan terdengar sangat ramah ketika menutup perkenalannya pada kelas pertama mata kuliah Morfologi Tumbuhan saat ini.

"Pak, selama menjadi dosen, perilaku mahasiswa yang seperti apa saja yang tidak bapak sukai?" Hem, pertanyaan yang cukup menarik dari seorang krtikus kelas kami, siapa lagi kalau bukan Yuda.

"Saya simpel saja orangnya, selama seseorang taat aturan maka saya suka. Sejauh ini hampir semua mahasiswa yang saya ajarkan itu taat aturan. Paling ada satu, dua orang saja yang suka ngumpul tugas telat. Biasanya orang-orang seperti itu adalah yang kuliah sambil kerja, jadi sulit membagi waktu. Tapi saya fine-fine aja, intinya semua berpengaruh pada nilai akhir, sesuai kontrak kuliah."

Penjelasan Pak Hamdan barusan cukup menyentil hatiku. Apakah aku masih sanggup membagi waktu antara bekerja dan kuliah di semester ini? Uang beasiswa bidikmisiku masih tersisa beberapa ratus ribu lagi. Hasil bekerja semester lalu juga masih ada. Tak lama lagi, jatah bidikmisi pun akan cair kembali. Apa aku berhenti kerja saja?

***

Gerimis masih setia membagikan tetesan halusnya, berlari berkejaran meninggalkan gumpalan awan yang jenuh. Butiran air tipis-tipis cukup menyapu rata debu jalanan dan meredakan keramaian. Para pembeli tak tampak lagi berlalu-lalang di pasar ini. Terlebih, di kios Kak Hamzah yang sejak pukul tiga sudah sepi. Namanya juga rejeki, Allah berkuasa hendak memberinya kapan saja. Lagi pula, rejeki bukan sekedar materil namun segala hal yang sering lupa kita syukuri.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَاِ ذْ تَاَ ذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَاَ زِيْدَنَّـكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَا بِيْ لَشَدِيْدٌ


"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.""
(QS. Ibrahim 14: Ayat 7)

"Belum reda ya, San," ucap Kak Hamzah menyadarkan lamunanku. Mungkin, jika ada yang memperhatikan, aku akan terlihat seperti sedang menghitung rintik hujan.

"Iya Kak, udah satu jam gerimisnya," sahutku seraya memutar separuh badan ke arahnya.

"Kita tutup aja ya kiosnya? Udah gak ada yang beli juga," tanyanya meminta persetujuan pada karyawan yang merasa jadi terbalik ini.

"Iya sih Kak, keliatannya gak ada yang mau beli lagi karena hujan juga. Tapi masih ada satu jam lagi sebelum tengah enam," jawabku mencoba memberi pertimbangan. Sebenarnya ingin kujawab dengan satu kata saja, terserah. Tapi mungkin itu terdengar menyebalkan.

Capuccino Sore Itu  ✅ [Tamat dan sudah Direvisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang