35. He's A Boss, and I'm The Employee

19 4 11
                                    

Riuh suara tetamu undangan berpadu dengan alunan nasyid tertangkap jelas dalam indera pendengaranku. Hidangan mewah dengan beraneka menu tersaji rapi, beberapa telah kuambil untuk dinikmati. Pelan-pelan aku melumat makanan di dalam mulutku, khawatir jika orang yang sedang duduk di sebelahku ini akan memandang aneh apabila aku makan seperti biasanya. Ya, biasanya aku terobos saja, gitu. Mungkin ini adalah sikap teranggunku saat makan.

"Kapan mau nyusul yang di depan, San?" ucapnya di sela menikmati nasi plus lauknya.

Mendengar pertanyaan aneh itu, aku tak langsung menjawab. Otakku masih memproses maksud dan tujuan dibalik apa yang ia lontarkan. Sampai dia menoleh ke arahku sebab tak mendengar respon apapun, baru lah aku membuka suara.

"Ya gak tahu, Kak." Oke, jawaban yang tidak memuaskan. Entah dia bermaksud serius, basa-basi, maupun bercanda... Jawaban ini tidak termasuk nominasi untuk kategori favorit.

"Ahahaha, emangnya udah ada calon, San?" tanyanya lagi. Oke, berdasarkan pertanyaan kedua, maka dapat disimpulkan bahwa pertanyaan pertama bermaksud bercanda.

"Ya belum, Kak," jawabku datar.

"Ciye... Jomblo," ledeknya dengan wajah yang sumringah. Mungkin hobinya memang menggoda para gadis lugu.

"Gak apa-apa, sih. Jomblo berkelas," selorohku pula. Kali ini aku mulai berminat meladeni candaannya.

Makanan kami sudah sama-sama habis. Tampak dari dua buah piring yang kosong serta sendok yang ditelungkupkan. Tapi, baik aku maupun Kak Hamzah masih ingin duduk, tunggu nasinya turun, begitu istilah yang sering kudengar.

"Ah, masa. Udah kelas berapa emang kejombloannya?" Sepertinya dia suka dengan jokes-ku, ternyata ke-absurd-an kami lumayan nyambung.

"Masih kelas satu sih, soalnya pas ada ujian kenaikan kelas, Sani gak sempat belajar. Disuruh jagain kios abang-abang waktu itu." Wah, lancar sekali imajinasiku kalau untuk memikirkan karangan cerita gaje seperti ini. Coba disuruh buat essay, buntu.

"Ahahaha, makanya belajar sama yang punya kios, dia kan jomblo juga. Bisa lah untuk berbagi ilmu," sahutnya sambil terkekeh.

"Oh, iya lupa. Padahal yang punya kios jomblo senior kan, ya?" balasku semakin menjadi-jadi.

Kak Hamzah tak menyahut lagi. Dia sudah sampai dipuncak tawa, badannya bergetar, mulutnya ia tutup dengan sebelah tangan agar tidak ribut.

"Udah Kak, ketawanya. Sani mau pergi dulu sebentar, takutnya kalau kakak masih ketawa sendirian, dikira orang yang bukan-bukan," tegurku melihat cara tertawanya itu. Padahal tak terlalu lucu bagiku.

Setelah beberapa kali menarik napas panjang, kini Kak Hamzah sudah normal kembali.

"Mau pergi ke mana San?" tanya Kak Hamzah saat sudah berhasil lepas dari tawa panjangnya.

"Mau nyari Kak Salwa sebentar. Ini Kak Salwa ada ngechat, katanya masuk aja ke kamar. Dia lagi dirias," jelasku sambil menunjukkan sekilas layar ponsel yang sedang membuka aplikasi hijau.

"Oh, ya udah. Tapi jangan lama-lama, ya," pintanya sambil menyetujui.

"Gak tau Kak, lama atau gak. Soalnya kan pake make-up itu lama," ujarku menakut-nakuti.

"Ya kan gak harus sampai selesai make up Sani di situ kan?" Iya sih, benar juga apa yang disampaikan Kak Hamzah.

"Emangnya kenapa kalau lama?" tantangku padanya, bukan malah menjawab pertanyaan itu.

"Nanti buayanya lepas kalau lama-lama," cicitnya sambil menaik-turunkan alis.

Ya ampun, seketika wajahku terasa panas. Mungkin sekarang pipiku telah memerah. Tak kusahuti lagi ucapan anehnya itu. Aku segera memalingkan muka dan berlalu meninggalkannya. Dia tak boleh melihat ekspresi malu-maluku ini. Kalau sampai dia tahu, mungkin satu minggu ke depan atau bahkan berbulan-bulan, betapa puasnya dia meledekku.

Capuccino Sore Itu  ✅ [Tamat dan sudah Direvisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang