BULE (31)

738 82 0
                                    

"Belum mandi? Mandi sana Ra, mumpung belum terlalu malem, biar seger," mamah yang baru keluar dari kamarnya nyamperin gue yang masih duduk di sofa, memainkan ponsel.

"Iya mah, bentaran lagi, ini masih cape banget keringetan," gue beralasan.

"Tumben Felix tadi gak jemput kamu?"

"Dia masih sibuk ngurusin cafe nya mah, sama Haechan. Lagian gpp bareng Mamah sekali-kali."

Mematikan ponsel dan segera beranjak naik ke kamar. Gue mencium pipi dan meninggalkan mamah yang baru duduk di samping gue. Salah satu strategi untuk mengindari segala macam pertanyaan mamah. Karena gue sudah tahu pertanyaan macam apa yang akan mamah tanyain ke gue.

"Nanti turun lagi ya ke bawah, jangan ngurung di kamar, ada yang mau mamah obrolin." Langkah kaki gue terhenti di tangga ketiga. Pasrah sudah, gue gak bisa beralasan lagi.


Pukul 08.00 , tidak sesuai dengan apa yang gue harapkan. Mamah ternyata masih nunggu di ruang tv. Dengan berani gue mendekati mamah dan duduk di sebelah nya. Gue memperhatikan mamah yang asik nonton, wajahnya terlihat lelah, meski sedikit terhalang kacamata, gue bisa lihat lipatan dibawah matanya.

"Mah, kalo ngantuk tidurnya di kamar jangan disini," gue membuka suara, mamah terlihat fokus pada tontonannya. Kapan lagi, biasanya mamah pulang sedikit lebih terlambat.

"Eh, kamu. Nah kan kalo udah mandi, aura cantiknya kelihatan gak kayak gembel," mamah membuka kacamatanya, penglihatan mamah sedikit agak bermasalah, mungkin karena faktor usia juga.

"Please deh Mah, aku keturunan Mamah. Jadi kalo aku kelihatan kayak gembel itu adalah warisan dari Mamah."

"Ututu, bercanda sayang. Sini peluk, Mamah kangen banget sama suasana kayak gini," mamah merentangkan tangannya, menarik gue ke dalam pelukannya.

Pelukan hangat yang di berikan mamah ke gue, adalah hal yang paling nyaman. Kadang, gue merasa bahwa selalu bersikap tidak baik terhadap mamah. Menyembunyikan kebohongan, yang seharusnya gue bagi ke mamah.

Tapi melihat mamah yang juga banyak beban, membuat gue enggan menambah beban itu menjadi lebih berat. Alih-alih membuat mamah memikul semua tanggung jawab itu, lebih baik gue juga membantu mamah ngeringanin bebannya.

"Ih, Mamah kok nangis?" bisa gue denger, mamah mulai terisak. "Jira gak suka ah, kalo Jira hari ini ada salah ke Mamah, Jira minta maaf."

Gue mencoba menenangkan, mengusap punggung mamah. Hati gue rasanya sakit, seperti luka yang dikasih perasan jeruk nipis, perih. Dari sekian banyak mamah menangis, tangisan ini yang membuat gue merasakan kesedihan yang sama. Gue ingat dimana mamah menangis hebat terakhir kali. Saat itu kabar duka dari papa sampe di telinga mamah, di seperjalanan dari rumah menuju rumah sakit, mamah benar-benar menangis. Bahkan setelah dua bulan kepergian papa, mamah masih sering menangis. Dan gue, sama hal nya seperti mamah, gue merasa sangat kehilangan, tapi gue harus mencoba kuat. Demi mamah.

"Ah, maafin Mamah, Mamah malah nangis gini."

"Mamah gak perlu minta maaf sama Jira, Mamah gak salah. Ada kalanya menangis itu membuat kita merasa tenang. Maafin Jira juga ya, Jira kurang ngertiin Mamah." Gue mencoba menyeka air mata mamah.

"Anak nya Mamah udah dewasa, kalo Papa liat kamu pasti dia bangga."

"Mamah tahu gak kenapa bisa Jira kayak gini?"

"Kenapa?"

"Karena Mamah. Mamah adalah sosok yang membuat Jira kuat, Mamah bukan hanya sekedar seorang ibu buat Jira. Bahkan Mamah lebih dari itu. Mamah super hero nya Jira. Jira juga kadang Rindu Papa, tapi karena ada Mamah, Jira harus bisa bertahan."

B u l e ▫ Felix✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang