03

4.6K 809 52
                                    

Suara binatang kecil seperti jangkrik terdengar di malam gelap yang sunyi. Dalam minimnya pencahayaan kamar, Renjun duduk bersandar sembari membaca sebuah buku fiksi di atas ranjang. Sebagai penerangan, Renjun hanya menggunakan lilin. Renjun yakin pasti semua anggota keluarganya sudah tertidur untuk itu Renjun sengaja mematikan lampu dan menggantinya dengan lilin.

Saat sedang asik membaca tiba-tiba jendela kamarnya terbuka keras karena angin bertiup kencang dari arah luar. Renjun sempat berjengit kaget apalagi saat lilin yang menyala juga ikut padam. Renjun beranjak berdiri mendekati jendela berniat menutupnya.

Desa ini saat malam hari begitu sunyi, berbeda saat Renjun masih ada di kota. Suara kendaraan berlalu lalang begitu berisik seolah aktivitas tidak pernah berhenti. Renjun hendak menutup jendela, tetapi tiba-tiba ia melihat sosok hitam berdiri di bawah tiang lampu jalanan setapak, menatap ke arahnya walau tak terlalu jelas wajah orang itu.

Ciri-cirinya seperti Jaemin tetapi mana mungkin itu dia. Renjun menajamkan penglihatan guna memastikan jika yang ia lihat adalah manusia. Tiba-tiba sosok itu melesat pergi. Pergerakannya seperti angin, dalam kedipan sudah lenyap meninggalkan aroma darah yang sama seperti kejadian tadi siang.

Buru-buru Renjun menutup jendela kamar, tak lupa ia juga menguncinya. Renjun masih penasaran dengan orang tadi, bagaimana bisa manusia biasa dapat melakukan hal menakjubkan seperti di cerita fantasi yang ia baca?

Renjun mencari pemantik api yang ia letakkan di dalam laci meja. Sialnya benda itu tak dapat ditemukan. Renjun memutuskan akan tidur saja mengingat besok dirinya akan melamar pekerjaan di klinik.

•••

Pagi-pagi sekali Renjun terbangun saat suara knalpot berasal dari luar rumah membangunkannya. Renjun membuka jendela kamar dan melihat sepupunya yaitu Hendery memandangnya tanpa ekspresi. Renjun mengerutkan dahi melihat Hendery sangat rapi mengenakan kemeja putih dengan celana jeans. Ia menggaruk tengkuknya karena nyawanya belum terkumpul keseluruhan.

"Apa kita tidak jadi ke klinik?"

Suara Hendery membuat Renjun langsung melebarkan mata, ia melirik jam yang menunjukkan pukul tujuh pagi.

"Oh astaga, mengapa tidak ada yang membangunkanku!"

Dari luar sang nenek menggeleng heran. Cucunya itu persis seperti anak gadis. "Dasar anak kota," kekeh nenek Renjun sembari melanjutkan memilah cabai.

Hendery menunggu Renjun duduk di teras rumah sembari memandang datar arah jalanan. Beberapa penduduk desa ada yang sudah pergi ke ladang mengurus perkebunan dan ada pula para ibu rumah tangga berbelanja pada tukang sayur yang menjadi langganan desa ini.

Tak membutuhkan waktu lama bagi Renjun berlama-lama mandi, ia sudah lengkap dengan kemeja putih bergaris, celana panjang, sepatu pantofel serta menata sedemikian mungkin rambutnya agar enak dipandang. Dasi hitam melilit leher Renjun, ia tampak sempurna dengan penampilan sopannya itu.

Renjun berlari menghampiri neneknya. "Nek aku berangkat dulu. Doakan semoga aku mendapat pekerjaannya, aku sayang nenek." Renjun mencium sekilas pipi keriput neneknya.

"Jangan lari, dasar anak itu."

Saat sudah sampai di ambang pintu, Renjun menoleh ke arah sepupunya yang tampak tenang. "Ayo Dery aku rasa kita terlambat," ujar Renjun terburu. Sementara Hendery tetap diam tanpa merespon ucapan sepupu ceweretnya.

Hendery menyalakan motor lalu Renjun duduk di jok belakang. Motor meninggalkan pelataran rumah. Renjun sungguh takut jika dirinya gagal mendapat pekerjaan.

Sesampainya di depan klinik, Renjun segera turun dari motor kemudian berlari tergesa menemui atasan barunya. Renjun memperbaiki penampilan lalu mengetuk pintu perlahan. Renjun baru bisa masuk setelah seseorang dari dalam sana menyuruhnya.

Sosok pria tampan memakai jas dokter menatapnya dengan kacamata bertengger di pangkal hidung. Renjun membungkuk hormat kepada atasannya.

"Saya kemari berniat ingㅡ"

"Langsung bekerja."

Renjun terpelongo mendengar itu. "Huh?"

"Aku sudah mendengar dari nenek Huang jika cucunya dari kota akan melamar pekerjaan di klinik ini. Kau bisa bekerja di sini mulai besok, jadi persiapkan dirimu dengan baik okay."

Renjun ingin menangis rasanya, ini seperti sebuah keajaiban. Renjun membungkukkan badannya berulang-ulang. "Terima kasih banyak Dokter Seo."

Pria bernama 'Seo Jaehyun' itu tersenyum manis sampai lesung pipinya ikut muncul. Renjun sedikit terpukau melihat betapa manisnya dokter ini saat tersenyum.

"Kalau begitu saya permisi, sekali lagi terima kasih telah mengizinkan saya bekerja di klinik ini." Renjun berlalu setelah mendapat anggukan kecil dari Jaehyun.

Hendery masih setia menunggu Renjun di luar. Pandangannya kini menatap Renjun yang berjalan keluar dari klinik dengan senyuman sumringah.

"Berhasil?"

Renjun semakin melebarkan senyumannya. "Berhasil!"

Hendery beroh ria kemudian memutar motornya. Renjun mendengkus kesal lantaran mendapat respon singkat dari sepupunya. Renjun merasa sekian lama tak bertemu, Hendery benar-benar telah berubah menjadi sosok yang dingin. Dulu Hendery itu sifatnya sebelas dua belas seperti titisan iblis, tapi lihat sekarang dia acuh terhadap sekitar.

•••

Renjun masuk ke dalam rumah dengan perasaan senang. Ia mencari neneknya tetapi wanita tua itu tidak ada. Rumahnya juga sepi. Renjun mengembuskan napasnya panjang. Ia memutuskan pergi ke kamar guna melanjutkan membaca buku fiksi selagi jam aktivitasnya kosong.

Belum sampai dua menit membaca tiba-tiba bibinya memanggil Renjun dari luar. Renjun agak kesal sebenarnya, ia membatasi bacaannya menggunakan pembatas buku kemudian menghampiri jendela dimana paman dan bibinya sedang membuat barbeque.

"Ayo ikut memanggang daging, jangan seperti anak gadis yang terus mengeram di kamar."

Renjun mendelik tak suka saat bibinya menyamakan dirinya seperti anak gadis. Tanpa aba-aba Renjun melompat keluar dari jendela membuat ibu Hendery memekik panik.

"Astaga anak ini! Jangan melompat seperti itu. Kau ingin membuat kakimu cidera?!" omel ibu Hendery.

Renjun terkekeh, ia hanya ingin menunjukkan pada bibinya jika ia bukan anak gadis. Acara barbeque dilanjutkan hingga hari menjelang tengah hari. Renjun memakan banyak sekali daging kambing yang diiris tipis-tipis ditambah bumbu penyedap membuat rasa daging benar-benar luar biasa lezat.

"Oh iya dimana Lucas dan Hendery?" tanya Renjun.

"Mereka tadi pergi ke hutan, entah apa yang sedang mereka lakukan."

Renjun mengerutkan dahi, setahunya dulu saat mereka masih kanak-kanak Hendery sangat membenci hutan. Alasannya karena Hendery pernah tersesat di hutan yang membuatnya trauma.

"Aku akan menyusulnya."

Renjun berdiri meninggalkan pekarangan rumah menuju hutan yang pernah membuat Hendery trauma. Di perjalanan, beberapa penduduk menyapanya ramah dan Renjun membalasnya dengan tersenyum manis. Renjun lumayan lupa arah menuju hutan, beruntung sekarang sudah disedikan papan arah jalan sehingga Renjun bisa mengikutinya tanpa harus bertanya.

Sesampainya Renjun pun segera mencari kedua sepupunya. Hutan ini memang indah sama seperti hutan di belakang rumah neneknya, hanya saja di sini lebih terang karena pohon tubuh di beberapa tempat sedangkan hutan belakang rumah neneknya lumayan gelap walau siang hari sekalipun.

"Dimana mereka?" gumam Renjun.

Renjun mencari keduanya sedikit memasuki kawasan hutan. Tepat saat itu ia melihat Lucas dan Hendery yang memunggunginya dari belakang. Keduanya berjongkok seperti tengah melakukan sesuatu. Renjun yang penasaran pun memanggil mereka.

"Hei Hendery, Lucas, apa yang kalian lakukan?"

Mereka berdua menoleh. Mata Renjun melebar melihat darah mengotori bibir Lucas dan Hendery. Renjun menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.

Kedua sepupunya meminum darah seekor rusa.

Menyadari Renjun ada di sana Lucas segera menghapus darah di bibirnya. Ia berdiri mendekati Renjun yang beringsut mundur darinya.

"Kalian, apa yang kalian lakukan?!"

Yeux BleusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang