Sadar

667 150 68
                                    

   Naoto menahan kesal, berkas-berkas di depannya ini masih saja belum habis. Padahal malam ini ia ada janji dengan Takemichi. Tulisannya yang semula rapi kini berantakan seperti barisan biri-biri. Kakinya sedari tadi menghentak-hentak gusar, Naoto tak bisa fokus.

   Dering ponsel Naoto memecah suasana hening yang sedari tadi tercipta. Naoto menatap nama yang tertera di layar—Hanagaki. Segera Naoto bangkit dan menangkat telpon itu.

"Halo, Hanagaki-san"

"Ah, Halo Naoto. Apakah kau sedang di jalan? Makan malamnya sudah jadi"

   Terdengar suara Takemichi dari ujung sana. Naoto menggigit bagian dalam bibirnya, ia diam sejenak sebelum menjawab.

"Maaf Hanagaki-san, tadi saat aku mau pulang atasanku memberi berkas baru lagi. Jadi aku harus menyelesaikan ini dulu baru bisa pulang."

"Ah, begitu... tak apa kok, Naoto. Aku akan menunggumu, jadi pastikan tidak ada berkas yang terlewat ya"

   Naoto bersyukur Takemichi mau menunggunya. Lantas Naoto memejamkan mata, meregangkan tubuh yang sedari tadi kaku karena duduk di ruangan ber-AC. Ia menarik napas, dan kembali fokus pada tumpukan berkas yang ada di hadapannya.

...

   Naoto buru-buru menekan tombol lift, ia terlalu fokus berkutat dengan berkas. Biasanya Naoto akan sesekali menatap benda bernama jam agar ia tak kehilangan track, tapi kali ini ia tidak melakukannya. Efek di semangati oleh Takemichi memang luar biasa, Naoto merasa seperti habis di guna-guna.

   Pintu lift terbuka, Naoto berjalan melewati lorong yang sepi. Sial, dia salah menekan nomor lantai. Kembali lagi Naoto menaiki lift, ia memastikan nomor yang di tekan benar sebelum lift berjalan.

   Pemandangan yang tersaji di depan Naoto membuat pemuda itu terharu. Di meja makan, tersedia makanan yang sudah dingin—tak tersentuh. Di sebelahnya, pemuda dengan surai hitam sedang tidur dengan pulas. Naoto tak tega untuk membangunkan Takemichi, tapi ia tahu jika pemuda itu pasti belum makan.

   Naoto mengguncang pelan bahu pemuda yang lebih pendek darinya itu. Seakan batu, pemuda itu bergeming.

"Hanagaki-san, bangun, jangan tidur di sofa." Ujarnya.

  Takemichi yang awalnya bergeming mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ia melenguh, tangannya menggapai udara dengan gerakan mengusir. Ya ampun, baru pulang sudah dapat yang manis-manis, Naoto sungguh bersyukur bisa tinggal seatap dengan Takemichi.

   Naoto memilih untuk memanaskan makanan yang terlantar dari tadi. Masakan buatan Takemichi mempunyai bau yang sangat enak, bahkan Takemichi—yang membuat makanan itu sampai terbagun.

"Ah, Naoto. Maaf aku ketiduran." Ucap Takemichi. Ia menggaruk tengkuknya yang 'tak gatal.

   Sebenarnya Takemichi kaget ketika melihat Naoto sudah di rumah. Takemichi jadi menyadari seberapa susahnya dia terbangun. Diam-diam dia merasa bersyukur bisa tinggal bersama Naoto yang selalu baik dan dapat memahaminya.

   Takemichi berjalan menuju meja makan, ia mendudukkan diri di salah satu kursi. Memandangi Naoto yang membelakanginya sudah menjadi rutinitas dalam beberapa hari belakangan. Selalu seperti ini, mereka membuat janji makan malam bersama, Naoto yang telat, dan Takemichi yang ketiduran.

Naoto berbalik dan tersenyum hangat.

"Makanan sudah jadi—eh, sudah di panaskan maksudnya"

"Pffft—ahahahaha, yang mana yang benar, Naoto?"

Muka Naoto jadi semerah tomat.

"Sudahlah, Hanagaki-san. Mari kita makan" ujar Naoto gelagapan. Mereka pun makan dengan khidmat.

SORRY [ COMPLETE ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang