Maaf

638 137 31
                                    

Langit yang cerah tiba-tiba menjatuhkan hujan dari pangkuannya, membuat Takemichi—yang sedari tadi tengah tiduran terlonjak. Ia bangun dan dengan tergesa berlari ke arah jemuran yang baru saja dia cuci. Ah, sial sekali ia hari ini. Beberapa kain yang tidak masuk di genggamannya terjatuh—terpijak-pijak di lantai. Takemichi jadi harus mencuci kain itu dua kali.

Hujan hari ini cukup aneh, padahal langit cerah tapi hujannya begitu deras. Takemichi mempunyai perasaan buruk tentang hujan seperti ini. Biasanya setelah ada hujan seperti ini, pasti akan ada hal tak terduga yang terjadi di hidup Takemichi.

Menepis semua pikiran negative, Takemichi memilih untuk membuat makan siang. Rasa lapar yang bersarang di perutnya lebih mengganggu dari pada pikiran negative yang dia pikirkan.

...

Naoto menatap hujan deras yang sedang mengguyur wilayah Shibuya. Ia harus membawa berkas laporan penyelidikan dengan selamat. Masalahnya tadi pagi mobil yang ia pakai tiba-tiba mogok, dan ini benar-benar menyusahkan Naoto. Ponsel yang tadi terisi penuh juga sudah mati. Jadi lah sekarang dia sedang menunggu di kafe yang sepi pengunjung ini.

Orang-orang yang berlalu lalang menjadi fokus objek Naoto. Ia mensesap kopi latte yang mulai mendingin, lalu pandangannya beralih pada kertas laporan yang ia pegang. Naoto membaca kembali—memeriksa jika ada hal-hal yang harus di selidiki.

Bosan, adalah hal pertama yang terlintas di kepala Naoto setelah sekian lama berteduh. Hujan turun dengan awet, sampai Naoto yakin jika ia akan terjebak di sini sampai malam. Yah, setidaknya itu adalah pikirannya sebelum Naoto menangkap sebuah siluet yang ia kenali. Naoto fokus menatap siluet itu, sampai ia yakin—orang itu adalah seorang pembunuh berantai yang kasusnya tengah ia selidiki saat ini.

Naoto sontak berlari mengejar sosok itu. Sungguh hari ini merupakan hari keberuntungan Naoto. Penjahat yang Naoto kejar berlari memasuki pemukiman dengan gang yang sempit dan sepi. Membuat Naoto kesusahan mengejar si pembunuh itu.

"Hei, berhenti!!" Teriak Naoto.

Naoto memberikan tembakan peringatan ke udara—membuat beberapa orang yang tinggal di situ keluar untuk melihat aksi kejar-kejaran itu. Beberapa tembakan peringatan kembali di keluarkan, Naoto masih mengejar sosok itu sebelum sosok itu menghilang di balik tembok tinggi—yang mustahil Naoto panjat.

...

Sudah seminggu sejak kejadian kejar-kejaran itu berlalu, tapi pembunuh berantai itu masih saja belum bisa Naoto tangkap. Mengingat hal itu membuat Naoto kesal sendiri. Bagaimana tidak, karena hal itu atasan Naoto memarahinya habis-habisan di tambah laporan yang dia buat basah—ikut terbawa saat aksi kejar-kejaran.

Dan di sinilah Naoto sekarang, mengerjakan dokumen-dokumen yang tiada habisnya. Padahal ini sudah hampir larut malam, tapi laporannya tak kunjung usai. Dia ingin sekali melihat Takemichi sekarang. Naoto menghela napas, suara ketikan yang menggema di ruangannya begitu kentara.

Ah, benar juga! Dia kan bisa menelpon Takemichi—dengan dalih menanyakan kabar. Segera ia mengambil benda berbentuk kotak pipih di dalam lacinya. Tangan Naoto gencar menekan dial nomor yang ingin dia hubungi. Dering tertunda menandakan panggilan tersambung, tapi telepon tak kunjung terjawab.

"Maaf, Nomor yang anda tuju di luar jangkauan"

Naoto mengernyitkan dahinya, tumben sekali Takemichi tidak mengangkat panggilan masuk. Seingat Naoto Takemichi tetap akan menjawab panggilan ketika di rumah. Ia ingat betul beberapa bulan lalu si Mikey menelpon Takemichi di tengah malam—dan tetap di angkat Takemichi. Lantas kenapa sekarang Takemichi tidak mengangkat telponnya?

...

Takemichi sedang memasak ketika mendengar suara bel apartemen berbunyi. Ia segera mematikan kompor dan melepas apron yang ia pakai. Dari balik layar kecil, dapat Takemichi lihat seorang kurir pengantar paket sedang menunggu. Aneh, seingatnya Naoto tidak menitipkan pesan apa pun tentang paket yang akan dia terima.

"Taruh saja paketnya di depan pintu" tukas Takemichi, sebenarnya perasaan Takemichi mulai tidak enak sekarang. Ini mengingatkannya pada hujan panas seminggu yang lalu.

"Saya perlu tanda tangan, Tuan"

Memilih untuk mengalah, Takemichi membuka pintu. Ia menatap kurir itu dengan pandangan malas.

"Di mana Saya harus tanda tangan?" gerutunya.

Sang kurir tidak menjawab. Iaa menjatuhkan kotak paket yang ia bawa—kosong. Tidak ada bunyi dentuman yang menyertai. Jantung Takemichi berdetak cepat, ia masuk ke dalam rumah, sebelum tangannya di cekal kuat. Takemichi meringis kesakitan, dia takut.

"Le-lepaskan!"

Takemichi menarik paksa tangannya, ia terbentur pintu dengan cukup keras. Segera ia masuk dan mengunci pintu. Dobrakan yang keras di lncarkan oleh kurir—bukan, orang misterius itu. Tubuh Takemichi yang gemetar ketakutan luruh ke lantai.

Ia segera lari ke dalam rumah, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk melindungi dirinya. Tapi, pikiran Takemichi sangat kelabu—kalut. Ia malah berjalan ke arah kamar untuk megambil ponsel. Suara pintu yang terdobrak menginterupsi Takemichi. Ah, sial—tubuhnya mematung.

Orang misterius tadi masuk dengan membawa pisau di tangan. Ia berjalan perlahan, berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi—meski pun percuma. Takemichi yang dari tadi ketakutan berusaha menggerakkan tubuh—yang terasa berat. Tapi saat sedikit lagi dia sampai ke arah kamar, orang misterius itu menemukan Takemichi—mencekal tangannya, dan membanting Takemichi ke lantai.

"Ke-te-mu" ucap lelaki itu sambil menyeringai seram.

Belum sempat Takemichi sadar dengan yang terjadi di sekitarnya, orang tersebut sudah menusuk tangan Takemichi. Takemichi meringis, air mata keluar dari sudut matanya. Lelaki mesterius yang menusuk tangan Takemichi tadi menarik rambut Takemichi. Kepala Takemichi mendongak secara paksa, matanya membola.

"Ki—Kiyomasa-san" gagu.

Kiyomasa terdiam saat mengetahui korbannya adalah orang ia kenal sepuluh tahun yang lalu. Tak lama, sebuah seringaan muncul di muka Kiyomasa. Sementara Takemichi menggigil ketakutan.

"Ha! Lama tidak bertemu ya, Hanagaki" ejeknya.

"Kau tahu aku masih mempunyai dendam denganmu kan? Ah, padahal aku kesini untuk membunuh polisi itu. Tapi, yang ku lihat ada seekor kelinci manis disini. Enaknya di apain ya?" imbuh Kiyomasa.

Kiyomasa menarik Takemichi untuk masuk ke dalam kamar. Di sana ia melucuti semua pakaian Takemichi dengan paksa. Tangan yang satunya digunakan untuk mengikat Takemichi dengan tali yang entah dari mana di dapat. Takemichi mengelijang, ia mencoba melakukan perlawanan meskipun itu sia-sia.

"Lepaskan, Kiyomasa-san" Air mata Takemichi turun bagaikan hujan di musim panas.

Kiyomasa merasa senang—tapi ia belum puas. Ia mulai menggerayangi tubuh polos Takemichi. Takemichi berteriak tertahan, Kiyomasa sudah tidak di kewarasannya lagi. Ia menggauli pemuda malang itu dengan ganas.

'Maaf, Naoto.' batin Takemichi.

Takemichi pingsan karena shock dan gempuran Kiyomasa. Sementara Kiyomasa tersenyum puas, ia mengangkat tubuh yang tidak memakai sehelai benang itu ke ruang tengah. Kiyomasa mengecup bibir Takemichi dalam—sebelum menusuk Takemichi di beberapa bagian tubuhnya.

"Selamat malam, Takemichi."

...

Naoto menaiki lift secara tergesa, namun ia tetap memastikan bahwa ia memencet tombol lantai yang benar. Lift bergerak dengan pelan membuat Naoto mekain tidak sabar. Firasat Naoto jelek sekali, ia takut sesuatu terjadi dengan Takemichi.

Jantung Naoto berdetak dengan kencang ketika melihat pintu apartemen yang terbuka. Ia segera memasuki apartemen, berjalan tanpa melepas sepatu terlebih dahulu. Nafas Naoto tercekat saat melihat pemandangan di ruang tengah. Ia jatuh terduduk.

"Ta—Takemichi..." Naoto menangis tanpa sadar. Ia ingin datang, mendekat, dan memeluk Takemichi—tapi ia tak bisa. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menelpon pihak kepolisian, dengan hatinya yang hancur berantakan.

SORRY [ COMPLETE ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang