8

425 77 14
                                    

Malam sudah cukup larut tapi Mahes belum juga  beranjak dari meja kerjanya. Jari-jarinya berlari di atas keyboard, sesekali matanya memicing dari balik kaca mata, tanda ia berpikir keras.

Namun kemudian, ia menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak bisa konsentrasi," katanya kesal.

Ia memutuskan untuk menghentikan kegiatannya lalu menyandarkan penuh punggungnya ke kursi. Sesekali ia mendesah frustasi.

Beberapa hari kepalanya terasa berat dan sesak, seperti dibebani banyak hal tapi tak tahu mana yang harus ia hadapi dan selesaikan lebih dulu.

Yang terberat adalah menjernihkan pikirannya tentang Gana.

Mahes sadar betul bahwa yang duduk di meja makannya tiap pagi, yang berlarian bersama Galvind, yang bertengkar memperebutkan remote TV dengan putra kesayangannya, dan yang ia tatap beberapa detik matanya beberapa hari lalu bukanlah Galvan. Bukan suaminya, bukan suami tercintanya.

Tapi rasa bukanlah urusan logika. Ia sangat merdeka, ia bebas berjalan ke arah manapun, lewat jalan apapun, bahkan jika semua mata terarah padanya dan meneriakinya bodoh lebih-lebih gila.

Dihadapkan pada kenyataan sejelas 'Gana bukanlah Galvan', hati Mahes tetap saja berdenyut ketika sesekali matanya bersirobok dengan mata madu Gana.

Kenapa mata itu? Kenapa mata itu harus Gana jiplak dengan sempurna?

Mahes jatuh cinta ribuan kali pada mata yang menatapnya dengan penuh kasih sayang itu.

Galvan lebih banyak membahasakan dirinya lewat mata itu.

Ketika sakit hatinya, ia menangis.

Ketika bahagia dirinya, ia berbinar.

Ketika jatuh cinta, ia membiarkan matanya menjadi pintu menuju jiwanya.

Ketika keras dengan pendiriannya, tatapannya kokoh.

Dan ketika ia tidak bernafas lagi, mata itu pun rapat.

Mahes takut ia akan jatuh pada Gana seperti ia jatuh pad Galvan. Jauh lebih takut kalau ia hanya menganggap Gana sebagai Galvan yang lain, yang masih bernafas.

Jadi solusi yang Mahes temukan hanya mulai mempertimbangkan untuk memberitahu putranya bahwa yang berada di rumah itu bukan ayah kandungnya meski mereka masih punya ikatan darah. Tapi Mahes belum menemukan cara untuk bicara pada Galvind tanpa membuat anak itu sedih apalagi menganggapnya pembohong.

Mahes meringis membayangkan Galvind mengamuk jika mendengar fakta ayah kandungnya memang pergi, tapi pergi yang tak punya kata kembali.

"Ayah...."

Suara kecil Galvind membuyarkan lamunan Mahes.

"Iya, sayang?" Sahut Mahes. Ia buru-buru melepaskan kacamatanya, memundurkan kursi yang ia duduki lalu memangku si kecil.

Ruang kerja yang Mahes tempati itu sudah gelap, hanya tersisa penerangan dari laptop yang masih menyala.

"Kenapa belum tidur? Ini sudah jam 10 malam." Mahes mengusap kepala si kecil sambil menghirup aroma sampo dari kepalanya.

Bagi Mahes, memeluk tubuh kecil itu selalu seperti obat untuk galaunya.

"Ayah Galvan benar di surga kan ayah?"

Mendengar tanya itu dari mulut si kecil, jantung Mahes berdebar. Matanya membulat seketika.

"Sayang, kenapa bicara begitu?"

"Kata Mile, ayah Galvan sudah mati dan orang mati tidak bisa kembali. Avin tanya Aga orang mati perginya kemana, kata Aga orang mati akan pergi ke surga. Tempatnya  indah, bagus, dan semua orang senang disana. Benar, ayah?" Tutur si kecil.

Mahes tercekat.

"Kapan Mile bilang begitu?" Tanya Mahes.

"Tadi di sekolah."

"Kenapa tidak bilang ayah?"

"Nanti ayah sedih. Ayah kan sering sedih, sering kangen ayah Galvan."

Mata Mahes mengembun mendengar kalimat si kecil, lalu setitik airmata jatuh dipipinya tapi cepat-cepat ia hapus. Dipeluknya erat tubuh kecil di pangkuannya.

"Avin tidak sedih?" Tanya Mahes parau.

Galvind menggeleng.

"Kata Aga kalau kita sedih, ayah Galvan juga sedih. Kasihan ayah Galvan kalau sedih..."

"Sayang...."

Pecah juga akhirnya.

Mahes terisak sambil memeluk putranya. Ia merasa kecil dibanding anak berusia 7 tahun yang mampu memikirkan dirinya dan Galvan sedangkan Mahes sendiri selama ini terus saja bersedih dan menolak kenyataan bahwa Galvan sudah pergi. Ia tidak memberi tahu Galvind perihal kematian Galvan karena ia tidak mau anaknya melupakan Galvan. Ia ingin Galvan tetap hidup, bahkan seakan-akan masih hidup di tengah-tengah mereka dengan adanya tanya dari mulut si kecil 'kapan ayah Galvan akan pulang?'

"Ayah jangan sedih..." Si kecil menepuk kepala ayahnya karena wajah Mahes tenggelam di dada kecil Galvind.

"Maaf sayang... Ayah tidak bermaksud bohong. Ayah hanya tidak mau kamu sedih," kata Mahes meski kenyataannya dirinyalah yang sedang bersedih.

"Ayah, nanti kita bisa menyusul Ayah Galvan kan? Kata Aga asal avin tidak nakal nanti kita bisa menyusul."

Mahes mengangguk menanggapi putranya.

"Dia bilang apalagi sayang?" Tanya Mahes kemudian.

"Aga bilang avin harus jadi anak baik. Tidak boleh mengganggu Aga tidur, tidak mengganggu Aga main game, jadi anak jujur dan mandiri jadi PR harus dikerjakan sendiri dan tidak boleh jadi anak yang suka mengadu." Jawab si kecil sambil menjadikan jari-jari kecilnya sebagai alat hitung.

Harusnya Mahes tidak berharap banyak pada remaja nakal seperti Gana, tapi nasehat konyol itu mampu membuat Mahes tersenyum diantara tangisnya.

"Dia benar. Kita bisa menyusul nanti kalau Tuhan mengijinkan, tapi untuk dapat ijin kita harus jadi orang baik." Kata Mahes kemudian.

"Sayang, ayah Galvan punya tempat peristirahatan sebelum pergi. Kalau avin mau, besok kita kesana. Tapi disana cuma tempat istirahatnya, tempat Avin kalau mau mengobrol atau kangen, bukan tempat bertemu. Ayah Galvan bisa dengar avin kalau avin bicara disana. Avin mau kesana?"

"Ke makamnya ayah Galvan kan ayah?"

Luar biasa. Mahes kagum dengan cara kerja otak anak kecil karena kadang orang dewasa begitu sulit untuk menjelaskan dan takut tidak dimengerti, tapi mereka paham dengan cara yang sederhana.

Iya, kita ke makam Ayah Galvan." Wajah Mahes berangsur cerah.

Ada beban besar di pundaknya yang terasa lolos begitu saja, terangkat dan terlempar entah kemana.

"Mmm.... Sekarang avin tahu kan, Aga itu bukan ayah Galvan?" Tanya mahes hati-hati.

"Tahu. Aga bilang dia adiknya ayah makanya wajahnya sama."

"Kalau begitu tidak apa-apa kan dia pulang ke rumah kakek? Kakek pasti rindu."

Galvind tiba-tiba melepaskan pelukannya, beringsut turun dari pangkuan Mahes dengan mata berkaca-kaca.

"Aga teman Avin. Kenapa ayah mau mengusir teman Avin?" Tanya si kecil. Bibirnya melengkung ke bawah, siap menangis.

"Bukan sayang, bukan diusir, tapi ini kan rumah kita bukan rumah dia. Dia harus pulang. Kasihan kakek kangen anaknya," Mahes buru-buru menjelaskan.

"Kalau Aga pergi, Avin mau ikut Aga ke rumah kakek."

Ya tuhan, aku salah langkah. Mahes menggerutu dalam hati. Ia menarik anaknya kembali ke pangkuannya.

Ia tidak tahu, ada Gana di balik dinding yang menguping lewat celah pintu yang terbuka, sedang mengepalkan tangan mendengar kalimat-kalimat terakhir Mahes.

"Tidak tahu terima kasih! Om Mahes minta dikerjai rupanya," Gana tersenyum kecil sambil berjingkat menjauh dari ruang kerja Mahes.

GANA GUNTARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang