12

496 84 22
                                    

Mahes bangun lebih awal pagi itu. Tidurnya lelap untuk beberapa jam saja setelah ia terlentang dengan perkataan Gana dan ibunya terngiang.

Mengakui kebenaran kata-kata anak kemarin sore yang dalam pandangannya tak lebih dewasa dari Galvind melukai harga dirinya.

Mahes memang baru pertama kali jadi orang tua, dan ia hanya ingin puteranya punya kepribadian seperti Galvan yang lembut dan penyayang. Tapi ia juga tak menampik bahwa bahwa yang dikatakan ibunya mungkin saja benar.

Hingga larut malam, otaknya belum setuju dengan egonya, jadi kantuk tak juga datang meski ia sudah berbaring beberapa jam.

Mahes bisa terlelap lewat tengah malam dan kembali membuka mata jam 4 pagi. Setelah berusaha untuk tidur lagi namun gagal, ia bangkit dan duduk di tepi kolam renang meski dingin udara pagi mengigit kulitnya.

"Om, hari ini ayah akan menjemputku, dan aku setuju ikut."

Tak disangka Gana juga sudah bangun, ia ikut mencelupkan kakinya ke dalam air. 

Mahes tak kunjung menjawab. Sunyi di pagi buta itu hanya ditingkahi suara gemericik yang Gana buat dengan menyibak-nyibak air menggunakan kakinya.

Mahes memandangi wajah Gana dari samping. Hidung mancung dan rambut berantakannya bisa Mahes lihat dengan jelas.

"Saya tidak benar-benar berniat mengusir." Kata-kata itu lolos begitu saja dari mulut Mahes.

Mendengar bahwa remaja yang belakangan meramaikan rumahnya ingin pergi nyatanya membuat Mahes melupakan egonya.

Rumahnya punya warna yang berbeda setelah Gana datang. Memang Mahes akui ia jadi banyak marah, sering kesal, tapi membayangkan rumahnya kembali dingin, Mahes tak rela.

"Tenang saja, Om. Bukan karena perkataan Om kemarin aku memutuskan ikut Ayah, tapi aku harus mencoba berdamai dengan ayah. Mungkin saja dia tidak seburuk ibu. Seperti kata om Mahes, aku sudah besar. Aku tidak boleh pengecut."

Baiklah, itu versi Gana yang membuat Mahes tak bisa berkata-kata.

"Timingnya terlalu pas kalau kamu bilang kamu ingin pergi bukan karena kemarin." Sarkas Mahes. Ia tetap menyalahkan dirinya.

"Ayolah, Om. Om bukan sekali dua kali mengatakan itu. Sering sekali. Kalau kuhitung, mungkin aku butuh 20 jari Om Mahes selain jariku agar cukup. Aku tidak pernah memasukkan itu dalam hati." Kini Gana menghadapkan wajahnya pada Mahes, ingin pria yang sudah tidak remaja lagi itu melihat kesungguhan kata-katanya.

"Lalu kenapa secepat itu? Kemarin-kemarin kamu berkeras tidak ingin ikut ayahmu."

"Sebenarnya sudah kupikirkan beberapa hari yang lalu. Ayah bisa membesarkan kak Galvan dengan baik, jadi kupikir mungkin kalau aku bersama ayah, aku akan baik-baik saja." Terang Gana.

"Bagaimana dengan Avin?" Tanya Mahes serius.

"Aku belum bilang. Nanti aku akan ke sekolahnya sesekali atau main kesini. Dia pintar, Om. Nanti dia akan mengerti."

Mahes menghembuskan nafas. Kenapa malah dia yang merasa berat?

"Beritahu Avin sebelum kamu pergi. Jangan sampai dia mengamuk karena tak menemukanmu sepulang sekolah." Ucap Mahes akhirnya. Memangnya dia bisa apa meskipun keberatan?

"Siap, Om. Nanti aku bicara dengannya." Gana mengacungkan ibu jarinya dengan senyum lebar.

Gana bangkit meninggalkan Mahes yang masih betah memandangi langit gelap dan rimbun pohon yang terhampar di depan matanya.

Kita lihat berapa lama kamu bisa bertahan untuk tidak memintaku kembali, Om. Batin Gana setelah sekilas menoleh pada Mahes.

Nyatanya Gana memang menggertak, tapi sudah menyiapkan diri kalau Mahes tak menahannya.

GANA GUNTARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang