Chapter 8

650 88 2
                                    

If love is blind, then maybe a blind person that loves has a greater understanding of it.
(Chris Jami, Salome: In Every Inch in Every Mile)

Setelah mengalami kecelakaan tragis yang merenggut penglihatanku, aku merasa dunia telah menjauhiku. Semua gerakku terasa terbatas dan impian yang sudah berada di depan mataku lenyap tanpa bekas. Putus asa sudah pasti, tapi di saat seperti itu apa gunanya putus asa? Putus asa tidak akan membawa kita ke manapun? Apalagi melangkah maju dan meningkatkan prestasi. Itulah sebabnya aku mulai menata hidupku kembali. Biarlah apa yang sudah terjadi menjadi pelajaran bagiku, bahwa Tuhan bisa mengambil suatu anugerah dalam hidup kita apabila kita kurang bersyukur kepada-Nya.

Walaupun sekarang aku buta, tapi aku seperti memperoleh banyak berkah. Aku bertemu seorang dokter baik hati yang merawatku dan menyarankan terapi serta berjanji akan mencarikan donor kornea, seorang anak kecil yang selalu mengisi kekosongan hari-hariku, sahabat karibku yang tidak pernah berhenti memberikan dukungan supaya aku tetap tegar menjalani hidup, dan seorang pria yang telah mencuri hatiku.

Pertemuan pertama kami memang bukan dalam keadaan yang baik, tapi aku bersyukur karena Tuhan telah mempertemukanku dengannya. Belum pernah aku merasa jatuh cinta pada seseorang seperti saat ini. Hanya dia yang berhasil membuat hatiku luluh dan terjerat. Hanya saja, dalam keadaan sepi dan seorang diri aku kembali melihat diriku yang jauh dari kata sempurna untuknya. Aku ini buta, mana mau dia bersanding dengan seorang yang cacat sepertiku. Hentikan mimpimu Na Jaemin! Lee Jeno tidak akan melirikmu, apalagi mencintaimu!

Aku merutuk diriku karena jatuh cinta pada Jeno, seorang CEO perusahaan besar yang secara tidak sengaja kukenal. Aku berusaha menjaga cara bicaraku dan tingkah lakuku setiap kali bertemu dengannya. Aku selalu merapalkan mantra di dalam kepalaku untuk menghentikan debaran jantung yang tak beraturan di saat aku dekat dengannya. Entah sudah berapa kali aku memimpikannya dalam tidur, berusaha membayangkan wajahnya yang tidak bisa kulihat langsung.

Tapi hari ini, dia datang kepadaku dan mengatakan kata-kata yang selama ini hanya bisa kuimpikan. ‘Saranghae’ dia mengatakan hal itu padaku dan mengecup keningku. Apa itu artinya dia juga mencintaiku? Tapi kenapa setelah menyatakan perasaannya padaku dia justru menghilang dan membuat khawatir semua orang? Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Aku tidak bisa berpikir jernih.

Ting tong

Suara bel membuyarkan lamunanku. Aku berjalan ke arah pintu dan membukanya, berharap Jeno akan datang kembali seperti tadi pagi. Tapi, pria di ambang pintu adalah Dr. Lee, bukannya Jeno.

“Dr. Lee ada apa Anda kemari?” tanyaku pelan. Aku tahu aku telah menyakiti hatinya dengan penolakanku semalam. Tapi aku memang tidak bisa berbohong padanya. Aku tidak mencintainya, Haechan yang selama ini menyukainya.

“Jaemin-ah, ayo ke rumah sakit! Kita akan melakukan transplantasi kornea.”

Aku senang bukan main. Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya datang. Aku akan bisa melihat lagi. Terima kasih Tuhan, kau telah mengabulkan salah satu doaku.

Operasi berjalan lancar dua hari yang lalu. Beberapa saat lagi perban yang menutupi mataku akan dibuka. Haechan sudah datang dari tadi pagi menemaniku berbincang sambil menunggu Dr. Lee. Sahabatku itu mengatakan ada hal penting yang harus dibicarakannya denganku, tapi dia menolak untuk memberitahuku sekarang. Dia menunggu hingga perban ini dibuka.

“Oh, Anda sudah datang Dr. Lee,” Haechan berdiri dengan tergesa-gesa karena kursi yang didudukinya berderit beradu dengan lantai.

“Iya Haechan-ssi. Hari ini adalah hari baik Jaemin, bukankah begitu?” aku mengangguk dan tersenyum pada mereka. Memang ini hari yang baik, aku akan memulai semuanya dari awal.

Gimme The Light (Nomin) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang