Chapter 10 (END)

1.3K 93 9
                                    

Kelopak mata Lee Jeno membuka perlahan setelah sentuhan lembut jemari yang terasa asing tapi menenangkan mendarat di pipinya. Dia berusaha mendekat ke arah sentuhan untuk mendapatkan lebih, tetapi matanya membelalak terbuka ketika wajah Na Jaemin berada di hadapannya. Dan jemari itu, tentu saja milik pemuda yang selama ini berusaha ia hindari.

Seulas senyum manis menghiasi wajah Na Jaemin. Wajahnya masih sama seperti yang diingatnya terakhir kali. Pipi chubby yang seolah berteriak minta dicubit, mata bulat yang dulu terlihat kosong tanpa ekspresi kini memancarkan cahaya membuat Jeno bisa membaca gurat kerinduan di sana, dan juga bibir yang hanya dapat diimpikannya selama ini. Seberapa banyak pun ia menghindar, Lee Jeno tidak bisa berbohong kalau ia sangat merindukan sosok Na Jaemin.

"Akhirnya kau sudah sadar," suara merdu yang selalu terngiang di ingatannya medesak air di pelupuk matanya untuk menetes,"Yah, waegurae? Kenapa kau menangis?" Jaemin mendadak panik melihat Jeno yang tiba-tiba saja menangis. Kedua ibu jarinya bergerak untuk menghapus air mata yang justru tak kunjung berhenti itu.

"Mian...hae," hanya kata maaf yang bisa terucap dari bibirnya yang serasa kering. Tangannya yang masih terasa lemah itu mencoba menggenggam pergelangan tangan Jaemin, menghentikan kegiatan pemuda berambut biru mengusap air matanya. Bibirnya tak berhenti-hentinya mengucapkan maaf membuat Jaemin menatapnya tajam.

"Geumanhae!" Jaemin menarik tangannya untuk menutup telinganya sambil menggelengkan kepalanya kuat. Dia tidak ingin mendengar Jeno menyalahkan dirinya sendiri berulang kali apalagi meminta maaf padanya. Pria itu sudah cukup malang, jadi untuk apa Jaemin menambah bebannya. Jeno yang terkejut tanpa sadar menghentikan kata maaf yang sedari tadi meluncur dari bibirnya.

"Lee Jeno," satu kata itu membuat sang businessman memberanikan diri untuk menatap wajah Na Jaemin. "Berhentilah mengatakan maaf atau aku akan pergi sekarang juga!" nada ancaman yang serius membuat Jeno menunduk perlahan berusaha menghindari tatapan tajam orang yang dicintainya itu. Dia berusaha menyibukkan pikirannya dengan memilin-milin ujung selimutnya, mencari sesuatu yang bisa ia kerjakan untuk mengisi suasana yang kikuk ini.

Jeno POV

Tiba-tiba kurasakan kasur tempatku berbaring sedikit bergelombang menandakan kini Na Jaemin duduk di sisiku. Jantungku berdegup kian tidak teratur. Walaupun aku sudah menyadari perasaanku pada Jaemin, bukan berarti kedekatanku dengan pemuda ini tidak akan memberi efek apapun. Setelah sekian lama akhirnya aku bisa kembali berdekatan dengan Jaemin yang asli, bukan hanya bayangan maupun imajinasi yang dihasilkan obat pengurang depresi yang kukonsumsi akhir-akhir ini.

Suasana semakin kikuk ketika Jaemin memutuskan untuk merebahkan kepalanya di pundakku. Apa sebenarnya yang ia pikirkan? Apakah dia tidak tahu kalau sekarang aku harus mengatur detak jantungku karena mustahil kalau dia tidak merasakannya saat dia menempel padaku seperti ini? Setelah beberapa saat kami terdiam, kudengar isakan pelan yang otomatis membuatku menengok ke arahnya.

"Lee Jeno, bagaimana bisa kau begitu jahat padaku?"

Aku terdiam. Ya, memang aku jahat. Tapi kenapa mendengarnya langsung dari mulut Jaemin membuatku merasa sangat sakit. Apakah karena selama ini hanya pendapatnya yang sangat berharga bagiku? Aku tidak peduli pendapat orang lain, hanya Jaemin yang kuperlukan.

Dia "Bagaimana bisa kau mencoba melakukan hal bodoh itu hanya karena merasa bersalah padaku? Kau tahu betapa aku mengkhawatirkanmu? Tahukah kau betapa aku merasa bodoh karena selama ini tidak mengetahui perasaanmu padaku? Tahu-."

Aku memotong perkataannya,"Jaemin-ah, aku hampir saja membunuhmu. Bukan hanya sekali, tetapi dua kali. Bagaimana bisa aku tetap ada di sisimu kalau aku selalu membawa dampak buruk bagimu? Kau kehilangan prospek karier yang cemerlang karena kebodohanku. Kau kehilangan hal yang paling berhar-."

Gimme The Light (Nomin) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang