"Pemerintah memutuskan bahwa PSBB akan diperpanjang." Suara pembawa berita yang berasal dari televisi seakan bergema di telinga Gadis.
PSBB diperpanjang.
Work from home kembali diterapkan.
"Arrrgghh, lama-lama jamuran di rumah. Sebenernya enak sih. Lagian gue anak rumahan. Enggak ada yang nanya, 'kapan nikah?' 'Itu anaknya si onoh udah lamaran, lah lo kapan?' Tapi lama-lama bisa gila juga kebanyakan bengong," cerocosnya.
Bukan bisa gila, lo udah gila, Gadis! Ngomong sendiri sama tembok!
Itulah asal muasal Gadis merasa hidupnya saat pandemi terlalu monoton sehingga dia mengalami kebosanan. Dia tidak ada masalah keuangan. Gaji tetap mengalir dari sekolah dan kampus. Bahkan dia bekerja online dari rumah. Tidak perlu capek bolak-balik Jakarta Barat-Tangerang Selatan.
Namun saat pandemi seperti ini, jam sekolah hanya sampai jam 12 siang. Dia pun hanya dosen honorer di salah satu universitas di Jakarta yang mengajar kelas karyawan seminggu sekali. Terkadang bosan, karena Gadis seperti berbicara kepada dinding. Para mahasiswa menutup kamera sementara dirinya mengoceh hingga berbusa. Sampai saat memanggil ketika absen, mereka tidak menyahut.
Bu, tadi saya ke toilet pas lagi absen.
"Halah, basi! Udah berapa minggu alesannya ke toilet? Apa tiap online dia mules?" Gadis hanya bisa mengomel sendiri saat membaca pesan salah satu mahasiswanya.
Mungkin mahasiswa tersebut ketakutan setelah diancam akan ditulis alpa. Lalu akan memohon keringanan. "Saya janji, Bu, enggak akan mengulangi lagi." Hah, klasik banget!
Gadis merasa bosan di rumah. Teman-temannya yang sudah berkeluarga masih ada suami dan anak yang menemani. Sedangkan dia? Hanya cicak-cicak di dinding yang turut menertawakan nasibnya.
Akhirnya Gadis memutuskan untuk mengisi kekosongannya dengan menulis kembali. Berkat membaca cerita yang viral di Twitter, dia menemukan aplikasi menulis bernama BigSpace. Sebuah platform online yang mewadahi para penulis untuk menuangkan karyanya.
Memang Gadis semasa kuliah aktif menulis di blog pribadinya. Namun semenjak dia melanjutkan S2 dan sibuk bekerja, dia melupakan hobinya yang satu itu.
Seharusnya Gadis tidak mengalami kebosanan ini dan menjadi istri pria pujaan hatinya. Ya, Gadis gagal menikah, karena sang pria meninggalkannya tiba-tiba. Bukan tiba-tiba sih, lebih tepatnya setelah mamanya Gadis memberikan sebuah syarat.
"Minimal calon suami kamu kasih Mama 100 juta buat resepsi di gedung."
"Tapi, Ma, nikah 'kan yang penting sah. Di buku Fikih juga gitu. Enggak ada persyaratan harus nikah di gedung. Bahkan sebaik-baiknya wanita itu yang tidak memberatkan mahar," protes Gadis.
"Iya, tapi muka Mama mau taruh di mana? Kamu tahu temen Mama yang resepsi minggu kemaren? Diomongin satu kantor! 'Eh, makanannya kok cuma tiga jenis, sih?' 'Agak basi enggak, sih?' 'Kayaknya dia pake jasa makeup yang murah ya?' Kamu mau kayak gitu?"
Maka dari itu, sang pria pun mundur perlahan. Padahal pria tersebut yang bernama Fardan merupakan alumni luar negeri, sholeh, dan dari segi wajah lumayan tampan.
Sayangnya, dia mengajar di pesantren dan digaji tidak layak. Padahal pesantrennya besar. Sangat ironis memang, tidak semua lulusan luar negeri memiliki karir yang bagus saat lulus. Lalu pria itu hanya memiliki kendaraan motor yang seharga 5 juta.
Boro-boro uang 100 juta. Dia saja harus membayar kuliah S2 dengan gaji pas-pasan. Sebenarnya Gadis tidak masalah. Toh, Gadis juga bekerja. Mereka bisa sama-sama berjuang. Akan tetapi tidak berlaku dengan mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Not Get Caught (Terbit)
EspiritualTerbit di Penerbit Andi. Gadis Bianca (Gadis) seorang guru sekaligus dosen honorer merasa bosan akibat work from home. Ditambah dia yang masih single di umur menjelang 30 tahun hanya bisa gigit jari di saat teman-temannya mengunggah foto stay at hom...